Rabu, 20 November 2019

Bertubi-tubi Keistimewaan Yogya Digoyang, Dari Pilgub hingga Keturunan China

Yogyakarta berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Yogyakarta pula 'negara' pertama yang mendukung kemerdekaan negara Indonesia. Oleh sebab itu, Yogyakarta memiliki hak istimewa di bawah payung NKRI. Belakangan, keistimewaan ini digoyang. Tak cuma sekali, tapi bertubi-tubi.

Berdasarkan putusan pengadilan/Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikutip detikcom, Rabu (20/11/2019), Kesultanan Yogyakarta sudah eksis lewat Kerajaan Mataram dengan Raja yang terkenal yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo yang bertakhta tahun 1613 sampai 1645 .

Pada 13 Maret 1755, terjadi Perjanjian Giyanti yang melahirkan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian ini yang menjadi cikal bakal Yogyakarta hingga hari ini.

Raja Pertama yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I yang bertakhta pada tahun 1755 sampai tahun 1792. Hingga hari ini, tercatat 10 Raja Yogyakarta yang memegang takhta kerajaan.

Dalam proses kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, 'negara' Kesultanan Yogyakarta yang pertama kali mengakui Indonesia pada 18 Agustus 1945. Sehingga bukan Indonesia yang memberikan kemerdekaan kepada Kesultanan Yogyakarta.

"Sultan yang bertakhta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam yang bertakhta di Kadipaten Pakualaman bukan 'pemberian' atau dibentuk oleh Negara (in casu Negara Kesatuan Republik Indonesia)," ujar MK

Pada 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengelurkan amanat: https://bit.ly/2D0seEJ

PERTAMA : Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI.
KEDUA : Segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengku Buwono IX.
KETIGA : Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung-jawab langsung kepada Presiden RI.

Dalam perang mempertahankan Proklamasi, Kesultanan Yogyakarta berjuang total membantu Republik Indonesia. Sultan HB IX menyumbang berkilo-kilo gram emas dengan nilai jutaan golden untuk pemerintah Indonesia.

"Ah, nggak mungkin ingat, ngambilnya saja begini (sambil menirukan gerakan orang yang mengambil dengan dua telapak tangan, seperti menyendok pasir dengan tangan)," kata Sri Sultan.

Kerajaan Yogyakarta juga memberikan segala fasilitas kepada pemerintah Indonesia yang baru berdiri, seperti Gedung Negara yang dijadikan menjadi pusat pemerintahan Indonesia kala itu.

Sri Sultan dan rakyat Yogyakarta selaku 'tuan rumah' memberikan seluruh akses dan fasilitas serta sumber daya kepada pemerintah RI untuk berjuang melawan Belanda.

Bahkan, Kerajaan Yogyakarta lah yang menggaji pertama kali para pejabat Pemerintah Indonesia.

Atas dasar sejarah panjang itu, akhirnya Republik Indonesia memberikan status istimewa ke Yogyakarta. Salah satunya dengan lahirnya UU UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY). Pasal 7 UU itu selengkapnya berbunyi:

Lingkup kewenangan yang termasuk ke dalam urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada angka 3 di atas, yaitu meliputi:

a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. kelembagaan pemerintahan daerah DIY;
c. kebudayaan;
d. pertanahan; dan
e. tata ruang.

Belakangan, keistimewaan ini digugat. Tidak hanya sekali, tapi bertubi-tubi. Seperti pada 2016 saat seorang advokat, M Sholeh menggugat sistem pemilihan Gubernur DIY. M Sholeh meminta pemilihan Gubernur DIY dilakukan lewat Pilkada. M Sholeh menolak aturan Sultan Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur DIY.

"Sebagai warga negara Indonesia berhak dicalonkan menjadi gubernur maupun wakil gubernur manapun, sebagai jabatan gubernur/wakil gubernur adalah jabatan publik yang boleh dijabat oleh setiap warga negara asal dia memenuhi syarat umum yang ditentukan oleh UU. Misalnya saat tahun 2012 Jokowi yang ber-KTP Solo mencalonkan diri menjadi gubernur Jakarta," ujar M Sholeh. https://bit.ly/2QyfYmP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar