Basuki Tjahja Purnama atau yang beken disapa Ahok sah menjadi komisaris utama Pertamina hari ini. Kabarnya Ahok akan menerima gaji Rp 3,2 miliar per tahun.
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Golkar Ridwan Bae mempertanyakan besaran gaji yang didapatkan Ahok. Dia juga curiga karena di tengah gaji petinggi yang besar harga avtur yang dijual Pertamina sangat tinggi.
"Saya mengharapkan penjelasan dari Pertamina, gaji komisaris komisaris yang sangat tinggi yaitu Rp 3,2 miliar. Kaitannya, dengan harga avtur yang tinggi, sepertinya ada ketidakseimbangan. Tolong penjelasannya," ujar Ridwan di ruang rapat Komisi V DPR, Jakarta, Senin (25/11/2019).
Direktur Pemasaran Korporat Pertamina Basuki Trikora Putra mengelak jumlah gaji yang disebut Ridwan, kata Ridwan itu hoaks. Basuki justru mengaku tidak tahu berapa besaran gaji komisaris utama.
"Itu hoaks! Kami tidak tahu angkanya bisa sebesar itu. Masyarakat bisa memahami," ucap Basuki.
Mengutip laporan keuangan Pertamina tahun buku 2018, kompensasi yang diberikan kepada jajaran direksi dan komisaris sebesar US$ 47,23 juta atau setara Rp 661 miliar (kurs Rp 14.000) per tahunnya.
Besaran gaji direksi dan komisaris berbeda. Untuk gaji Direktur Utama ditetapkan dengan menggunakan pedoman internal yang ditetapkan oleh Menteri BUMN selaku RUPS PT Pertamina (Persero).
Sementara, gaji anggota direksi lainnya ditetapkan dengan komposisi faktor jabatan, yaitu sebesar 85% dari gaji Direktur Utama. Honorarium Komisaris Utama adalah sebesar 45% dari gaji Direktur Utama. Honorarium Wakil Komisaris Utama adalah sebesar 42,5% dari Direktur Utama. Honorarium Anggota Dewan Komisaris adalah 90% dari honorarium Komisaris Utama.
Adapun susunan direksi Pertamina saat ini adalah 11 orang, sementara untuk komisaris di 2018 mencapai 6 orang. Artinya jika dibagi rata ke 17 orang, masing-masing bisa mengantongi hingga Rp 38 miliar setahun atau Rp 3,2 miliar per bulan. https://bit.ly/35yOWzX
DPR Curiga Mafia Bermain Harga Avtur, Ini Jawaban Pertamina
Anggota DPR Komisi V dari Partai PKB Sofyan Ali mempertanyakan penentuan harga avtur yang berpatokan pada acuan harga minyak Mean of Platts Singapore (MOPS). Menurutnya Pertamina harus membuat acuan harga sendiri.
Hal ini diungkapkan Sofyan menanggapi penjelasan Pertamina dalam rapat dengar pendapat yang membahas mengenai industri penerbangan. Dalam rapat ini harga avtur kerap kali disebut jadi biang kerok yang memberatkan operasi maskapai penerbangan.
"Kenapa kita diatur di luar? Kita ini negara independen kenapa nggak menentukan harga sendiri? Apa kita tidak bisa berdaulat dengan negara sendiri," ucap Sofyan di ruang rapat Komisi V DPR, Jakarta, Senin (25/11/2019).
Bahkan, Sofyan sempat curiga, jangan-jangan ada mafia dalam tubuh Pertamina yang mengatur harga avtur menjadi tinggi.
"Atau apakah ini ketidaktahuan saya atau carut marut permasalahan di Pertamina ini persoalan bangsa. Apakah ini ada mafia-mafia di Pertamina?" pungkas Sofyan.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pemasaran Korporat Pertamina Basuki Trikora Putra mengatakan bahwa memang acuan harga avtur yang umum digunakan berpatok pada MOPS. Dia menyebutkan bukan cuma Indonesia yang menggunakan acuan ini.
"Kenapa pake MOPS? MOPS itu memang publikasi dari lembaga di Singapura untuk harga produk. Itu dipakai di negara- negara Asia Tenggara bahkan hingga Jepang pun itu menjadi harga acuan," jawab Basuki.
Basuki menambahkan bahwa di Indonesia sendiri memang tidak memiliki harga acuan. Lagipula, seluruh maskapai pun sepakat untuk mengacu pada harga MOPS.
"Di Indonesia nggak ada harga publikasi. Dan itu sudah diketahui dan disepakati oleh buyer, salah satunya airline," ucap Basuki. https://bit.ly/2KSZhPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar