Pandemi COVID-19 di berbagai negara mengganggu roda perekonomian dunia. Corona bahkan 'memangkas' proyeksi pertumbuhan ekonomi global karena gonjang-ganjing yang terjadi di pasar keuangan dan sektor riil.
Di Indonesia, krisis dikhawatirkan terjadi seperti periode 1998 lalu.
Peneliti CSIS Fajar B Hirawan mengungkapkan krisis yang terjadi pada 1998 dipicu oleh gangguan di pasar keuangan. Seperti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi sangat cepat.
Kemudian respons kebijakannya fokus di pasar keuangan dan ekonomi secara umum.
Sedangkan krisis ekonomi akibat COVID-19 pemicu utamanya adalah penyebaran wabah dan virus yang mengganggu seluruh aspek ekonomi, khususnya perdagangan, kinerja industri manufaktur dan jasa serta pasar uang.
"Kebijakan yang ditempuh tidak hanya fokus pada masalah ekonomi atau keuangan, tetapi juga terkait masalah kesehatan dan kemanusiaan," kata Fajar saat dihubungi detikcom, Sabtu (18/4/2020).
Dia menjelaskan krisis pada 1998 juga sangat berbeda dengan saat ini. Mulai dari kesiapan otoritas moneter dan fiskal saat mengantisipasi dampak krisis.
"Contohnya pada 1998, penanganan moneter waktu itu hanya ditangani Bank Indonesia (BI). Sekarang ada OJK dan LPS yang bahu membahu dengan BI untuk menangani masalah di sektor keuangan," imbuh dia.
Kemudian dari sisi fiskal, pemerintah saat ini juga lebih responsif dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi, khususnya menjaga sektor konsumsi rumah tangga, karena memang pada dasarnya sudah banyak belajar dari kasus krisis 1998 dan 2008 lalu.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan krisis saat ini diyakini tidak seburuk periode 1998. Karena fundamental dan infrastruktur ekonomi jauh lebih baik.
"Dunia usaha belum krisis, demikian juga perbankan. Rasio kredit bermasalah ada tekanan tapi masih dalam batasan wajar," imbuh dia.
Sementara dari sisi pemerintah dan otoritas sudah sangat siap dengan berbagai protokol untuk mengantisipasi krisis.
"Termasuk terakhir dikeluarkannya Perppu. Krisis diyakini bisa dimitigasi dengan baik," jelas dia.
Pilot Hingga Awak Kabin Mulai Rasakan Dampak Ngeri Corona
Industri penerbangan Tanah Air sudah mulai mencari cara mempertahankan bisnisnya di tengah pandemi virus Corona (COVID-19). Sebab, banyak masyarakat yang berdiam diri di rumah demi memutus rantai penyebaran virus.
Kebijakan tersebut tentunya sangat berdampak pada industri penerbangan. Di tanah air, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan Batik Air sudah mulai melakukan efisiensi agar perusahaan tetap bertahan.
Batik Air yang merupakan anak usaha Lion Group ini menawarkan kepada para pilotnya untuk cuti di luar tanggungan perusahaan. Kebijakan ini diambil lantaran frekuensi penerbangan turun imbas merebaknya virus Corona.
Corporate Communication Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro membenarkan informasi tersebut. Menurutnya para pilot Batik Air memang ditawarkan cuti di luar tanggungan.
Menurut Danang, tawaran tersebut bersifat sukarela dan sebagai upaya manajemen mempertahankan bisnis di tengah pandemi virus Corona.
"Pandemik COVID-19 (Coronavirus disease) ini menyebabkan beberapa/banyak rute domestik dan internasional tidak diterbangi (dioperasikan), sehingga produksi layanan penerbangan menurun signifikan," kata danang saat dihubungi detikcom, Jakarta, Sabtu (18/4/2020).
"Karena produksi menurun, sebagai salah satu upaya mengurangi beban perusahaan, maka kami menawarkan kepada karyawan termasuk pilot untuk cuti di luar tanggungan perusahaan secara sukarela," tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar