Para ilmuwan di Prancis sedang menyiapkan penelitian untuk menguji teori zat nikotin bisa melawan virus Corona COVID-19.
Profesor Jean-Pierre Changeux dari Pasteur Institute dan Profesor Zahir Amoura dari Pitie-Salpetriere University Hospital melakukan studi dengan melibatkan 1.500 tenaga medis. Rencananya sebagian tenaga medis akan diberi koyo nikotin dan sebagian lain koyo biasa untuk kemudian dibandingkan mana yang lebih tahan terhadap infeksi virus.
Selama ini di antara kalangan peneliti Prancis ada anggapan bahwa zat nikotin bisa mempengaruhi kemampuan molekul virus Corona menempel pada reseptor sel tubuh manusia.
"Jadi virus ini datang ingin menempel pada reseptor, nikotin menghalanginya, lalu keduanya berpisah," kata Jean-Pierre seperti dikutip dari Reuters, Selasa (28/4/2020).
Eksperimen serupa juga akan dilakukan pada sekitar 400 pasien yang menunjukkan gejala virus Corona. Harapannya peneliti bisa memahami potensi nikotin mempengaruhi perkembangan infeksi pada tubuh.
Rencananya studi akan dimulai dalam waktu tiga minggu lagi. Peneliti berjanji ekstra hati-hati agar studi mereka tidak mendorong masyarakat terhadap kebiasaan merokok yang efeknya buruk untuk kesehatan.
AS Fokus Teliti Terapi Plasma Darah Pasien Sembuh untuk Obati Corona
Sejumlah negara mulai menguji terapi plasma darah dari penyintas Corona (COVID-19) guna mengobati pasien Corona. Amerika Serikat (AS) termasuk salah satu negara yang fokus meneliti metode ini. Namun, apakah cara ini efektif untuk mengobati pasien Corona?
Sebagaimana dilansir dari BBC, di Inggris, NHS Blood and Transplant (NHSBT) meminta orang-orang yang sembuh dari Covid-19 untuk menyumbangkan darah sehingga lembaga kesehatan itu bisa menguji coba terapi tersebut.
Harapannya, antibodi dalam plasma darah para penyintas bisa membantu melawan virus di tubuh orang yang sakit. AS telah memulai proyek besar-besaran untuk meneliti ini, melibatkan lebih dari 1.500 rumah sakit.
Teorinya, ketika seseorang terjangkit COVID-19, sistem kekebalan tubuh mereka merespons dengan menciptakan antibodi, yang menyerang si virus. Lama-kelamaan antibodi ini terkumpul dan bisa ditemukan di plasma, komponen cairan darah.
Sementara itu di AS, para ilmuwan menyelenggarakan proyek nasional hanya dalam tiga pekan, dan sekitar 600 pasien telah menerima pengobatan. Ikhtiar ini dipimpin Profesor Michael Joyner, dari Mayo Clinic.
"Hal yang kami pelajari dalam pekan pertama penelitian ialah tidak ada masalah keamanan besar yang muncul dan pemberian produk (plasma) tampaknya tidak menyebabkan banyak efek samping yang tak terduga," kata Joyner.
Pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Johns Hopkins Dr Arturo Casadevall yang mengajukan izin ujicoba plasma darah ke otoritas makanan dan obat-obatan AS (FDA) menjelaskan, pihaknya belum tahu apakah penggunaan plasma darah pasien sembuh akan menyembuhkan pasien yang masih sakit. Namun jika merujuk pada sejarahnya, plasma darah memang pernah berhasil mengobati beberapa penyakit.
"Kita tidak akan tahu hasilnya sampai kita melakukannya. Tapi bukti sejarah menunjukkan hasil yang menggembirakan," ujar Dr Casadevall kepada kantor berita The Associated Press.
Dr Casadevall merujuk pada penggunaan plasma darah ini dalam kasus wabah flu Spanyol di awal Abad 20, dalam wabah polio dan campak, serta dalam kasus SARS dan Ebola beberapa tahun lalu.
Selain itu, pada tahun 2003, kalangan dokter di China menggunakan plasma darah dari pasien yang pulih untuk mengobati 80 orang yang menderita SARS, yang masih satu rumpun dengan virus corona.
Sedangkan pada 2014 WHO telah menerbitkan pedoman untuk menggunakan plasma darah untuk mengobati orang yang terinfeksi Ebola karena hasilnya yang menjanjikan.
Di Indonesia, penelitian tentang plasma darah sebagai kemungkinan obat untuk pasien COVID-19 juga dilakukan oleh RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Dalam penelitian ini pihak rumah sakit bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Biologi Molekuler Eijkman dan Biofarma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar