Selasa, 21 April 2020

Cha-Am, Tempat Anti Mainstream di Thailand

 Namanya mungkin tidak familiar, namun pesona wilayah Cha-am harus kamu jelajahi saat traveling ke Thailand. Seperti ini tempatnya.

Tidak banyak yang saya tau sebenarnya tentang Cha-am, Distrik ini baru saja saya ketahui di counter informasi stasiun Kereta Api Hua Hin. Saya menanyakan kepada mereka kota mana yang terdekat dengan Hua Hin dan bisa saya kunjingi.

Petugas informasi di Stasiun kereta api menunjukkan Cha-am, semua distrik tidak jauh dari Hua Hin dan dapat ditempuh dengan Kereta api dalam waktu 30 menit. Langsung saya menuju loket dan membeli tiket ke Cha-am dengan harga 6TBH atau sekitar Rp 2.800. Murah sekali pikir saya.

Namun demikian memang tidak banyak kereta yang berhenti di Stasiun Cha'Am. Hanya ada sekali saja dalam sehari yang berhenti di Stasiun Cha-am, demikian juga arah sebaliknya. Jadi saya hanya memiliki waktu kurang lebih 5 jam untuk jalan-jalan menyusuri lorong-lorong di Cha-am. Saya sedikit nekat datang ke daerah baru tanpa informasi sebelumnya.

Distrik Cha-am adalah sebuah distrik (amphoe) di bagian selatan Provinsi Phetchaburi, Thailand barat. Menurut sejarahnya distrik ini didirikan pada tahun 1897 dengan nama Na Yang. Namun demikian dalam perkembangannya, pada tahun 1914 pusat distrik dipindahkan ke Ban Nong Chok yang berada di Distrik Tha.

Namanya pun diubah menjadi Nong Chok. Setelah Perang Dunia II, pemerintah memindahkan kantor ke Cha-am dan juga mengubah nama distrik menjadi Cha-am. Begitu lah sejarah mengenai distrik ini.

Di Cha-am berdiri Istana Mrigadayavan yang merupakan bekas kediaman Raja Vajiravudh atau Rama VI. Raja tersebut memerintah Siam (Thailand) dari tahun 1910 hingga 1925.Distrik ini terbilang sepi. Ada berderet-deret toko, namun tidak banyak yang buka, dan tidak tampak banyak orang yang lalu lalang.

Di atas pukul 13.00 atau 14.00 wilayah ini sudah relatif sepi. Saya melihat beberapa pembangunan yang dilakukan di kota ini.

Begitu turun dari kereta di stasiun kereta api Cha-am saya langsung melangkahkan kaki untuk memulai menyusuri lorong-lorong distrik. Karena kebetulan sudah tengah hari dan waktunya untuk mengisi perut maka saya segera mampir di kedai makan dan menikmati semangkuk noodle soup dengan harga 30TBH.

Cukup murah jika dibandingkan dengan di Hua Hin. Saya sempat mencoba kue tradionalnya seharga 10 TBH dan sebotol air mineral seharga 10 TBH. Setelah beristirahat sejenak saya segera melanjutkan penelusuran ke lorong-lorong kota ini.

Tidak sengaja di sebuah lorong dekat pasar Cha'am saya menemukan kedai gunting rambut. Kebetulan saya merasa perlu merapikan rambut saya yang sudah kurang teratur. Kedai sedang sepi tidak ada pelanggan.

Akhirnya di kota ini ada kenangan gunting rambut, cukup dengan membayar 100TBH. Sambil numpang narsis juga sih, siapa tau hasilnya bisa buat contoh di salon-salon di kampung saya.

Setelah merasa lebih fresh dengan potongan rambut baru, saya lanjutkan berjalan keiling kota. Kondisi lumayan panas, sehingga saya putuskan berjalan kembali ke arah stasiun Cha-am. Sembari berjalan dan mata menoleh ke arah mobil yang menjual minuman warna-warni jelly, kebetulan dan coba aja nikmati apa yang ada dan apa yang kita jumpa. Harganya pun berpatutan, untuk segelas minuman jelly gelas besar hanya 30TBH.

Sambil menunggu kereta menuju Hua Hin, saya mengamati kehidupan masyarakat sekitar. Sederhana namun ada kebahagiaan dan rasa syukur. Stasiun dan rel kereta apinya pun bersih terawat.

Tidak ada rumput liar ataupun sampah yang merata-rata. Sepertinya semuanya sudah begitu teratur. Kelak jika ada rejeki, semoga saya dapat menjelajah jejak sejarah Cha-am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar