Bukan rahasia lagi jika kebiasaan merokok bisa merusak kesehatan. Bukan cuma kanker, merokok juga berpengaruh pada kesehatan mulut dan gigi.
Makin lama seseorang merokok, makin tinggi risikonya mengembangkan penyakit terutama yang berkaitan dengan masalah gigi dan mulut. Terlebih saat ini banyak sekali remaja yang sudah merokok.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mengenai prevalensi perilaku merokok remaja usia 10-18 tahun mengalami peningkatan dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen. Artinya 1 dari 9 remaja di usia tersebut sudah mencoba rokok.
"Jadi, di dalam jaringan itu seharusnya ada suplai oksigen yang cukup. Disebabkan oleh merokok, jadinya jaringan yang ada di rongga mulut ini tidak bisa menerima suplai yang cukup," ungkap drg Ratna Kumala Indrastiti, dalam seminar online Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKG UI) bersama para siswa SMA Negeri 77 Jakarta Pusat, Selasa (24/11/2020).
Beberapa hal yang terjadi pada rongga mulut dan gigi akibat konsumsi rokok:
1. Kekeringan pada mulut akibat temperatur rokok yang tinggi.
2. Perubahan keasaman air liur.
3. Perubahan reaksi imunitas.
4. Karises mahkota dan akar gigi.
5. Perubahan estetik/keindahan pada gigi, serta perubahan warna gigi yang semula putih menjadi kecokelatan.
6. Peningkatan plak dan karang gigi.
7. Ischaemia (menurunnya suplai oksigen dalam jaringan rongga mulut).
8. Terbukanya akar gigi.
9. Kanker mulut (karsinoma sel skuamosa di lidah, dasar mulut, bibir, gusi)
10. Mulut kering, bau mulut, gigi sensitf, dan nyeri saat mengunyah.
"Rokok juga menyebabkan hilangnya jaringan penyangga gigi, akibatnya gigi jadi goyang. Kalau sudah goyang, nanti giginya bisa tanggal atau bisa tercabut dengan sendirinya," tambahnya lagi.
https://nonton08.com/movies/thank-you/
RSHS Bandung Ungkap Pandemic Fatigue Jadi Alasan Lonjakan Kasus Corona
Direktur Perencanaan, Organisasi, dan Umum Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Muhammad Kamaruzzaman, mengungkapkan pandemic fatigue jadi salah satu alasan adanya lonjakan positif COVID-19 di beberapa daerah di Jawa Barat. Akibatnya ketersediaan tempat tidur di beberapa rumah sakit, seperti di Cililin, Tasikmalaya, dan Karawang semakin menipis.
"Peningkatan ini mungkin disebabkan karena kemarin ada libur panjang sehingga menyebabkan terjadi yang kita sebut pandemic fatigue," katanya kepada wartawan, Rabu (25/11/2020).
Pandemic fatigue menurut Kamaruzzaman merupakan kondisi saat orang-orang sudah kelelahan fisik dan mental menghadapi pandemi COVID-19. "Mereka yang sudah biasa dirumah tiba-tiba libur panjang mereka ke luar dan juga kerumunan-kerumunan massa yang kita lihat beberapa waktu lalu di Bandung," ujarnya.
Kerumunan yang ia maksud seperti, contohnya demonstrasi, kerumunan di tempat hiburan, dan pariwisata. "Ini mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Ini yang kita lihat terjadi peningkatan," tambah Kamaruzzaman.
Berdasarkan statistik yang ia terima, Kota Bandung menjadi peringkat pertama dalam delapan besar kasus Corona di Jawa Barat. "Dan kalau kita lihat statistiknya juga Jabar ini ada delapan besar. Kesatu Kota Bandung dari semua kota besar di Jabar," tuturnya.
Saat ditanya perihal ketersediaan RSHS jika menjadi rujukan dari rumah sakit daerah, Kamaruzzaman mengatakan rumah sakit perlu mengikuti prosedur sistem rujukan terintegrasi (sisrute).
"Dengan sistem tersebut mereka akan mengetahui bahwa kasusnya harus dirujuk, karena kalau tidak melalui sisrute bisa saja pasien tersebut gejalanya ringan dan masih bisa ditangani oleh rumah sakit yang merujuk," jelasnya.
Kemudian yang kedua dengan sisrute itu akan mengetahui kapasitas tempat tidur yang ada di RSHS. Hal tersebut berguna agar rumah sakit daerah tidak langsung datang dan tidak harus menunggu lama di UGD.
"Rumah sakit kami hanya menangani pasien-pasien dengan gejala yang berat bahkan kritis sesuai dengan kapasitas," pungkasnya.
Hingga saat ini di RSHS terdapat 109 pasien dan kapasitas yang terisi sudah 87 persen dari total kapasitas 139 tempat tidur setelah dilakukan penambahan kapasitas di lantai 2-4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar