Minggu, 22 Desember 2019

Menelusuri Mosaik Sejarah di Keraton Yogyakarta (3)

Sepeninggal Sultan Hamengku Buwono I, Keraton Yogyakarta mengalami masa pasang surut, salah satu episodenya, sebagaimana diceritakan dalam buku terjemahan Raffless dan invasi Ingris ke Jawa karya Tim Hannigan (2018), pada bulan Juni 1812, Inggris pernah menyerang dan memasuki Keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun takhta dan penggantinya Sultan Hamengku Buwono III harus mengikuti persyaratan yang diajukan oleh pemerintah Kolonial Inggris.

Di sisi kanan terdapat relief perjuangan Sultan Hamengku Buwono IX. Relief-relief tersebut menceritakan perjuangan Sri Sultan Hamangku Buwono IX sejak jaman penjajah Belanda hingga penyerahan kedaulatan. Pada masa Sultan Hamengku Buwono IX berkuasa di Keraton Yogyakarta, Negara Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam buku Hamengkubuwono IX Pengorbanan sang Pembela Republik (KPG dan Tempo: 2018) diceritakan bahwa sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan Selamat kepada Sukarno dan Mohammad Hatta dan menyatakan dukungannya kepada Republik Indonesia. Pada tanggal 5 September 1945 Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta yang salah satunya menyatakan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Kerajaan berwujud Daerah Istimewa Republik Indonesia dan Sultan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Lebih lanjut dalam buku tersebut diceritakan pula bahwa ketika Jakarta berada dalam keadaan genting karena serdadu Belanda terus memburu petinggi Republik, Sultan Hamengku Buwono IX menawarkan ke Bung Karno agar Ibu Kota dipindahkan ke Yogyakarta dan disetujui  oleh Bung Karno. Sultan rupanya sudah menyiapkan Yogyakarta sebagai ibu kota dengan matang termasuk dengan semua sarananya. Pada tanggal 19 Desember 1948 Jenderal Spoor dengan pasukannya menyerang Yogyakarta untuk melakukan propaganda kepada dunia bahwa tentara Indonesia sudah tidak ada, peristiwa ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda II, dalam peristiwa ini banyak petinggi-petinggi Republik Indonesia ditawan oleh Belanda.

Selama masa berat ini Sultan Hamengku Buwono IX terus memberikan dukungan penuh dan kontribusi yang luar biasa terhadap Republik yang masih muda ini. Tidak lama setelah peristiwa Agresi Militer Belanda II, Panglima Besar Jenderal Sudirman bersama komandan-komandan lapangan TNI berhasil menyusun strategi dan rencana Serangan Umum dari markas gerilyanya. 

Pada tanggal 1 Maret 1949 pasukan TNI, para pejuang yang didukung oleh segenap rakyat melakukan serangan besar-besaran terhadap posisi-posisi strategis pasukan Belanda di Yogyakarta. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil membuka mata dunia bahwa Negara Republik Indonesia dan pasukan TNInya masih utuh sehingga memberikan posisi tawar yang strategis terhadap perjuangan melalui jalur diplomasi yang dilakukan.

Ada sebuah episode yang menarik mengenai ketegasan Sultan Hamengku Buwono IX dalam membela Republik Indonesia dan melindungi para pejuang. Dalam Buku Doorstoot Naar Djokja-Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer Karya Julius Pour (Kompas: 2010), setelah Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, pada tanggal 3 Maret, Mayor Jenderal Meijer Komandan Teritorial Jawa Tengah menemui Sultan karena menganggap Sultan melindungi para pengacau keamanan (dari sudut pandang tentara Belanda). Dalam pertemuan tersebut dengan gagah berani dan tegas Sultan memberikan jawaban yang membuat Jenderal Meijer dan rombongan merasa respek terhadap Sultan dan segera meninggalkan Keraton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar