Ada sebuah episode yang menarik mengenai ketegasan Sultan Hamengku Buwono IX dalam membela Republik Indonesia dan melindungi para pejuang. Dalam Buku Doorstoot Naar Djokja-Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer Karya Julius Pour (Kompas: 2010), setelah Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, pada tanggal 3 Maret, Mayor Jenderal Meijer Komandan Teritorial Jawa Tengah menemui Sultan karena menganggap Sultan melindungi para pengacau keamanan (dari sudut pandang tentara Belanda). Dalam pertemuan tersebut dengan gagah berani dan tegas Sultan memberikan jawaban yang membuat Jenderal Meijer dan rombongan merasa respek terhadap Sultan dan segera meninggalkan Keraton.
Setelah serangan Umum 1 Maret 1949 Sultan tetap memainkan peranan penting misalnya dengan menjadi anggota delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen dan perundingan-perundingan diplomasi selanjutnya. Sultan Hamengku Buwono IX juga pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Beliau wafat pada tahun 1988. Jalan-jalan di Yogyakarta dipenuhi oleh masyarakat selama prosesi pemakamannya menuju makam Raja-Raja Jawa di Imogiri.
Dari Relief Perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Sultan Hamengkubuwono IX, setelah melewati Bangsal Pacikeran kita akan menemui bangunan megah yang wajib dikunjungi, bangunan tersebut disebut Sitihinggil yang memiliki arti tanah yang tinggi, dipergunakan sebagai tempat penobatan para Raja Keraton Yogyakarta sekaligus menjadi tempat diselenggarakannya pisowanan Agung.
Terdapat beberapa bangunan di kompleks Sitihinggil ini diantaranya adalah: bangunan Tarub Agung, yang berupa bangunan empat persegi, dengan empat buah tiang besi yang menyangga atapnya, merupakan tempat bagi para pembesar yang menanti rombongannya untuk bersama-sama masuk Keraton. Terdapat pula Bangsal Agung Sitihinggil di sebelah selatan Tarub Agung, bangsal besar Sitihinggil merupakan tempat singgasana Sri Sultan dan juga tempat penobatan Sultan-Sultan Mataram Yogyakarta dan tempat diadakannya upacara Pisowanan Agung pada hari-hari Garebeg. Lalu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil yang berfungsi sebagai tempat prosesi Sultan yang duduk dalam Singgasana dalam upacara-upacara penting Kerajaan.
Dari atas Sitihinggil ini kita dapat mengarahkan pandangan langsung ke alun-alun utara dan dari sana dengan imajinasi, dapat kita teruskan ke utara ke arah Tugu hingga Gunung Merapi, kembali ke Keraton dan terus ke arah Selatan hingga ke Pantai Selatan. Dalam imajinasi kita, kita bisa membayangkan adanya garis imajiner dari Keraton ke arah utara hingga Gunung Merapi, dan ke arah selatan hingga Pantai laut Selatan. Garis imajiner itu berada dalam satu garis lurus yang memiliki makna filosofis tentang keseimbangan dan keharmonisan.
Tentu saja masih banyak hal yang terlewatkan dari tulisan ini namun semoga tradisi dan budaya Yogyakarta dengan Keraton sebagai jantung dan rohnya masih dapat terus lestari sehingga akan makin banyak generasi muda sebagai generasi penerus bangsa ini untuk mempelajari dan meresapi nilai-nilai luhur dari perjalanan panjang sejarahnya. Dari sejarah kita bisa belajar untuk menuju masa depan yang lebih baik lagi dan semoga yang terbaik yang akan dicatat dalam lembaran-lembaran sejarah untuk diteruskan kepada generasi berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar