Selasa, 24 Desember 2019

Kalondo Lopi, Tradisi Masyarakat Maritim di Bima

Masyarakat nelayan di Bima, NTB punya ritual meluncurkan kapal menuju laut. Ritual itu disebut Kalondo Baga atau Kalondo Lopi.

Meluncurkan perahu atau menurunkan kapal menuju ke laut hanya ada pada masyarakat yang memiliki sejarah budaya kemaritiman yang cukup kuat.

Kalondo Baga dan Kalondo Lopi merupakan suatu ritual tradisi yang ada pada masyarakat pesisir yang sebagian besar hidupnya bekerja sebagai nelayan.

Kalondo dalam bahasa lokal suku Bima, berarti menurunkan atau meluncurkan. Sementara baga adalah perahu berukuran kecil yang memiliki bagang pada sisi samping dan lopi adalah sebutan untuk kapal yang berukuran besar.

"Kalau Kalondo Lopi itu adanya di Bonto dan Kolo untuk Kota Bima. Tapi yang biasa mereka buat di sana itu adalah bagang. Kalondo Baga," ujar Ketua Forum Pokdarwis Bima, Ihsan Iskandar, pada detikcom, Sabtu (14/9/2019) kemarin.

Kolo adalah sebuah kelurahan yang letaknya berada di daerah pesisir utara Kota Bima. Masyarakat di sini sebagian besar sebagai petani dan nelayan. Ihsan menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk proses pembuatan bagang.

"Kalau proses tergantung ketersediaan biaya dan bahan. Kalau secara teknis, tukang bisa membuat satu bagang dalam waktu 3 atau 4 bulan saja. Itu pun tergantung seberapa banyak pekerja yang dipekerjakan," jelasnya.

Berbeda halnya dengan masyarakat di lingkar Gunung Sangiang Api di Kecamatan Wera, Kabupaten Bima. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuat satu buah Lopi atau kapal pinisi berukuran besar. Pembuatannya pun masih menggunakan cara tradisional.

Dalam pengerjaannya, kapal ini ditukangi oleh hampir semua masyarakat Sangiang Api. Seorang tukang ahli disebut Panggita. Masing-masing orang punya bagiannya tersendiri, entah dek, buritan, dan bagian yang lainnya.

Prosesi pembuatan kapal pinisi ini juga jadi semacam pengikat orang-orang di Sangiang untuk terus hidup dalam kebersamaan dan harmonis. Tak hanya para orang tua dan pemuda, ibu-ibu dan anak-anak pun juga ikut membantu.

Cara Paling Asyik di Maros Menyambut 'Harvest Moon'

Ratusan orang semalam tumpah ruah di Lapangan Batu Bassi, Maros, Sulawesi Selatan. Mereka menikmati bulan purnama langka, yakni 'harvest moon' dengan menonton pentas seni budaya.

Pentas seni budaya itu, digelar dalam rangkaian acara bertajuk 'accora bulan ri batu bassi' atau bulan purnama di Batu Bassi yang dilaksanakan oleh lembaga adat setempat bersama komunitas Badik Celebes selama 4 hari ke depan.

"Jadi malam ini memang spesial karena bertepatan dengan bulan purnama langka yang disebut dengan hervest moon. Momen ini kita manfaatkan juga untuk menggelar kegiatan budaya selama 4 hari kedepan," kata ketua paniti, Jumaedi, Sabtu (14/09/2019) malam.

Di lokasi itu, juga digelar perkemahan budaya yang diikuti puluhan lembaga pemerhati budaya dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Selain pementasan seni, di ajang ini juga digelar diskusi, seminar, ritual pencucian badik serta pameran badik pusaka khas dari berbagai daerah.

"Pembukaan acaranya itu tadi sore ditandai dengan kirab budaya ke balla lompoa Batu Bassi diikuti oleh ratusan warga dan perwakilan kerajaan di Maros dan Sulsel. Selama 4 hari ini banyak kegiatan budaya yang kami gelar," lanjutnya.

Kegiatan budaya inipun sukses menyedot perhatian warga. Selain menikmati cahaya bulan purnama dengan pentas seni, warga juga bisa menikmati aneka jajanan tradisional yang sengaja dihadirkan untuk melengkapi kegiatan ini.

"Kami dari sanggar Toddolimae, salut dengan kegiatan ini. Momennya sangat bagus karena bertepatan dengan fenomena alam bulan purnama hervest moon. Kegiatan begini diharapkan bisa jadi agenda tahunan lah karena banyak sekali manfaatnya," ujar salah seorang peserta kemah, Mulyana.

Meski berlangsung meriah, namun sayangnya, pada pembukaan acara ini, tidak dihadiri oleh pejabat pemerintahan setempat, mulai nupati dan kepala dinas kebudayaan dan pariwisata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar