Kerumunan di tempat wisata banyak terjadi di sepanjang libur lebaran yang lalu. Soal protokol kesehatan, Satgas Penanganan COVID-19 mengungkap, DKI Jakarta mencatatkan kepatuhan paling rendah di tempat wisata.
"DKI Jakarta jadi provinsi dengan kepatuhan protokol kesehatan di tempat wisata yang paling rendah yaitu hanya sebesar 27 persen orang yang patuh untuk menjaga jarak di tempat wisata," kata juru bicara Satgas COVID-19 Prof Wiku Adisasmito, Selasa (18/5/2021).
Kepatuhan untuk menjaga jarak di tempat wisata selama libur lebaran juga terpantau rendah di wilayah berikut:
Bangka Belitung 33 persen
Riau 58 persen
Sumatera Selatan 62 persen
Sedangkan terkait penggunaan masker di tempat wisata, kepatuhan paling rendah ada di wilayah berikut:
Bangka Belitung 33 persen
Sumatera Selatan 58 persen
DKI Jakarta 60 persen.
Prof Wiku mengingatkan untuk melakukan evaluasi terkait risiko penularan di tempat wisata. Di antaranya dengan melakukan screening random dengan tes antigen atau GeNose untuk tempat wisata dalam ruangan, dan protokol kesehatan yang ketat untuk tempat wisata luar ruangan.
"Kemudian berikutnya melarang pembukaan lokasi wisata di kabupaten-kota di wilayah zona oranye dan merah dan jika ditemukan pelanggaran maka akan dilakukan penutupan lokasi," pesan Prof Wiku.
https://movieon28.com/movies/yourself-and-yours/
Peringatan WHO! Kerja Melulu Tingkatkan Risiko Stroke-Serangan Jantung
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa bekerja dengan jam kerja yang panjang bisa membunuh ratusan ribu orang setiap tahunnya. Ini bisa terus meningkat di tengah pandemi COVID-19.
Hal ini tercatat dalam studi global pertama yang dipublikasi dalam jurnal Environment International tentang hilangnya nyawa terkait dengan jam kerja yang lebih panjang. Dalam studi tersebut, menunjukkan sebanyak 745.000 orang meninggal karena stroke dan penyakit jantung, yang berkaitan dengan jam kerja yang panjang pada 2016 lalu.
Angka tersebut meningkat hampir sebesar 30 persen, dari tahun 2000 silam.
"Bekerja 55 jam atau lebih per minggu merupakan bahaya untuk kesehatan yang serius," kata direktur Departemen Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Kesehatan WHO Maria Neira, dikutip dari Reuters, Selasa (18/5/2021).
"Yang ingin kami lakukan dengan informasi ini adalah mempromosikan lebih banyak tindakan dan lebih banyak perlindungan terhadap pekerja," lanjutnya.
Selain itu, dari studi bersama yang dilakukan oleh WHO dan Organisasi Perburuhan Internasional menunjukkan bahwa sebagian besar korban (72 persen) adalah laki-laki yang berusia paruh baya atau lebih. Seringkali, kematian terjadi jauh setelah masa bekerja daripada saat masih bekerja.
Itu juga menunjukkan bahwa orang yang tinggal di Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat (wilayah yang ditentukan WHO mencangkup China, Jepang, dan Australia), menjadi wilayah yg paling terpengaruh.
Berdasarkan penelitian yang mengambil data dari 194 negara ini mengatakan bahwa bekerja selama 55 jam atau lebih dalam seminggu bisa dikaitkan dengan beberapa penyakit. Misalnya seperti risiko stroke yang 35 persen lebih tinggi dan risiko kematian akibat penyakit jantung iskemik 17 persen lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang bekerja 35-40 jam per pekan.
Jumlah tersebut belum termasuk jam kerja di era pandemi COVID-19 ini. Para pejabat WHO mengatakan pandemi mungkin sudah meningkatkan risikonya.
"Pandemi mempercepat perkembangan yang dapat mendorong tren peningkatan waktu kerja," ujar WHO, yang memperkirakan setidaknya 9 persen orang bekerja dengan jam kerja yang panjang.
Menurut petugas teknis WHO, Frank Pega, jam kerja yang dibatasi akan bermanfaat bagi perusahaan. Sebab, telah terbukti bisa meningkatkan produktivitas para pekerja.
"Ini benar-benar pilihan yang cerdas untuk tidak menambah jam kerja panjang dalam krisis ekonomi," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar