Sebuah tradisi memilukan datang dari Kota Taiji, Jepang. Tiap tahunnya, nelayan di kota ini berburu lumba-lumba dan membuat pantainya jadi lautan darah.
Dunia maya kembali dikejutkan oleh berita menyayat hati dari Kota Taiji di Jepang. Kota ini memang terkenal dengan perburuan lumba-lumba atau lebih dikenal dengan Dolphin drive hunts.
Setiap tahunnya pada bulan September, para nelayan Taiji akan melakukan perburuan lumba-lumba. Perburuan ini biasanya berlangsung selama 6 bulan.
Sudah banyak aktivis yang mengecam Dolphin drive hunts. Tradisi sadis ini bahkan sudah diangkat menjadi sebuah film berjudul The Cove. Film ini memenangkan Academy Award for Best Documentary Feature.
Sang produser film, Director Louie, kembali memberikan informasi bahwa perburuan lumba-lumba kembali diadakan. Perburuan ini direkam dan dibagikan oleh akun Oceanic Preservation Society di Media Sosial Instagram, seperti dilihat detikTravel pada Senin (4/2/2019).
Dalam video tersebut terlihat nelayan yang berhasil menjaring lumba-lumba dan merapatkan mereka ke tepi pantai. Dari atas perahu, nelayan mulai menombak lumba-lumba tanpa ampun.
Kepala dan badan lumba-lumba akan ditusuk sampai mereka lemas dan tak melawan. Perlahan dan enggan, lumba-lumba mengeluarkan suara pilu karena dihujam oleh tombak.
Perairan mulai merah, pantai nan biru berubah menjadi lautan darah segar. Suara lumba-lumba sayup tertutup dengan mesin perahu yang berputar di antara mereka.
Sambil kesakitan, lumba-lumba berenang dan meronta di antara lautan darah. Lumba-lumba dibiarkan mati di dalam air sebelum diangkat ke perahu.
Bayi lumba-lumba yang ketakukan melompat ke daratan. Dari dalam air, akan ada nelayan yang menyelam untuk memastikan semua lumba-lumba sudah diangkat ke perahu.
Dalam captionnya, Louie mengecam perburuan keji ini. Louie menceritakan kisahnya saat bernegosiasi dengan Walikota Taiji.
"I am the director of The Cove and our team did in fact spend several days negotiating with the Mayor of Taiji and the dolphin hunting union to get their side of the story for our documentary. We even offered to not film the dolphin slaughter if they agreed to let us interview a single fisherman or town leader, but not a single person from that town was willing to step forward and talk on the record about the dolphin hunt. I went to journalism school and getting both sides of a story was always the goal. But do you really need to hear both sides of a story when one of those sides is committing barbaric acts of violence? Is it necessary to hear Jeffrey Daumer's side of the story to have an accurate picture? Serial killers and pedofiles have a point of view, but do you really need to hear both sides of a story when one of those sides is committing barbaric acts of violence and refuses to speak? Since nobody affiliated with the hunt would talk to us on the record, our team made the decision to break into the area now known as The Cove to see what they were hiding. What we saw and heard there was far more revealing than any interview could have achieved-it was so unspeakable it shocked the world," tulis caption tersebut.
Dolphin drive hunts tak hanya tradisi Jepang saja. Norwegia, Faroe Islands, Islandia dan Solomon Islands juga masih melakukan perburuan ini.
Video tersebut mengundang banyak simpati dari warganet. Kebanyakan dari mereka marah dan sedih dengan tradisi sadis ini.
Perburuan lumba-lumba memang tidak dilarang oleh Pemerintah Jepang. Terakhir, pemerintah juga mencabut undang-undang tentang perburuan hiu.
Walau bukan termasuk hewan langka, lumba-lumba merupakan hewan cerdas yang jinak. Berkedok tradisi, mamalia lucu dan jenaka ini akan berakhir di pasar atau penangkaran, jika masih hidup.
Padahal, lumba-lumba kerap menjadi penolong bagi nelayan yang tersesat di lautan. Sungguh sadis dan menyayat hati, perburuan ini harusnya sampai di sini..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar