Video berisi curhatan dua wisatawan yang mengaku disergap gara-gara memesan taksi online viral di media sosial. Pihak kepolisan pun membenarkan.
Kejadian itu disebut terjadi di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Aceh. Dalam video berdurasi 43 detik tersebut terlihat seorang perempuan berkaca mata hitam menumpahkan unek-uneknya. Dia berbicara di dalam mobil yang melaju kencang. Di sampingnya, ada seorang pria yang mendukung pernyataan perempuan tersebut. Keduanya mengaku diperlakukan seperti maling saat hendak naik ke mobil yang mereka pesan.
Video berisi curhatan tersebut diunggah salah satu akun Instagram di Aceh. Hingga Jumat (25/1/2019) sore, video itu sudah ditonton sebanyak 27 ribu kali dan dikomentari oleh 235 netizen. Penyebar video itu menyebut, insiden itu terjadi pada Kamis (24/1) sore di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh.
"Saya pesan dari aplikasinya dan ketika kita keluar untuk dijemput kita disergap oleh beberapa orang, tidak bisa pergi. (Disergap) seperti maling dan panjang lebar dibilang oh ini aturan. Ini, ini," kata perempuan tersebut memulai curhatannya.
Dia mengaku memesan transportasi online karena harganya sudah jelas sehingga tidak perlu ditawarkan lagi. Di akhir videonya, dia memberi pesan agar daerah mempermudah bagi kunjungan wisatawan.
"Dan dari sisi saya kalau ada daerah yang mau ada wisatawan harus memikirkan dari sisi wisatawan lebih gampangnya apa. Saya pesan Grab karena tidak mau nego tidak mau ribet. Saya cuma mau keluar, masuk mobil sudah tau harga tidak perlu ribet, begitu," jelasnya.
"Kalau daerah-daerah meribetkan untuk wisatawan gak bakal ada orang datang," ungkapnya di ujung video.
Sementara itu, Kapolsek Ulee Lheue Polresta Banda Aceh AKP Elfutri, membenarkan kejadian itu terjadi di Pelabuhan Ulee Lheue. Namun dia belum menjelaskan kronologis kejadian tersebut termasuk apakah korban melapor ke polisi atau tidak.
"Iya benar (di Pelabuhan Ulee Lheue)," jawab Elfutri singkat saat dikonfirmasi detikTravel.
Bacalah, Pesan Peneliti Komodo Pada Wisatawan
Meski heboh rencana penutupan Taman Nasional (TN) Komodo, nyatanya aktivitas di sana masih berjalan normal. Ini ada pesan dari peneliti komodo untuk wisatawan.
Rencana penutupan TN Komodo selama 1 tahun yang dilontarkan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat masih jadi perbincangan. Kabar terbaru, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan melakukan pertemuan dengan stakeholder terkait untuk membahasnya.
Soal populasi komodo dan habitat, Deni Purwandana, Koordinator Yayasan Komodo Survival Program yang menjadi mitra dari Balai TN Komodo menjelaskan, sejauh ini tidak ada penurunan populasi komodo. Untuk pariwisata di taman nasionalnya, Deni mengakui memang perkembangannya cukup signifikan tetapi belum berimbas pada habitat dan populasi komodo.
"Sejauh ini kita melihatnya pariwisata itu berkembang, tapi imbasnya (pada komodo-red) belum terlalu siginifikan. Sebab, lokasi area pariwisata hanya terbatas di Loh Liang dan Loh Buaya," terangnya kepada detikTravel, Jumat (25/1/2019).
Memang, kunjungan wisatawan baik dari dalam dan luar negeri ke TN Komodo terus meningkat tiap tahun. Apalagi, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pariwisata terus mempromosikan TN Komodo (bagian dari Labuan Bajo) yang masuk dalam daftar 10 Destinasi Prioritas alias 10 Bali Baru.
Untuk pariwisata, Deni menggarisbawahi satu poin penting. Poin itu yakni perilaku buruk wisatawan memberi makan pada hewan.
"Contoh kecil, wisatawan kasih makan monyet di Loh Buaya (Pulau Rinca). Itu sangat menganggu sifat alamiahnya sehingga nanti binatang-binatangnya menunggu untuk dikasih makan," terangnya.
"Memberi makan kepada semua hewan dilarang di TN Komodo. Kita harus menjaga keasliannya," pesan Deni.
Deni berpesan agar wisatawan dapat menjaga sikap dan mematuhi berbagai aturan di TN Komodo. Tentu selain itu sebagai wisatawan, kita juga harus bertanggung jawab dengan menjaga kelestarian taman nasionalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan, serta tidak mengambil dan merusak apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar