Selasa, 02 Juni 2020

WHO Sebut Jumlah Perokok Buat Angka Kematian Corona di RI Tinggi

 Rokok hingga kini masih jadi permasalahan serius di Indonesia. Dengan tingginya jumlah perokok, bukan tidak mungkin berpengaruh pada angka kematian akibat virus Corona yang cukup banyak di Indonesia.
"Indonesia melihat adanya peningkatan kematian akibat COVID-19 yang luar biasa dibandingkan negara lain dan salah satu alasannya adalah kebiasaan merokok," perwakilan WHO untuk Indonesia, Dr N. Paranietharan dalam Webinar Hari Tanpa Tembakau Sedunia Kementerian Kesehatan RI, Selasa (2/6/2020).

Terdapat penelitian dari menunjukkan dari 9.025 pasien Corona sekitar 17,8 persen yang perokok mengalami kondisi yang buruk. Sedangkan yang bukan perokok, hanya mengalami perburukan sebanyak 9,3 persen. Artinya, merokok hampir dua kali lipatnya meningkatkan risiko terjadinya kefatalan dari COVID-19.

Persentase kematian akibat COVID-19 di Indonesia berkisar di angka 6 persen. Jauh lebih banyak jika melihat negara Asia yang hanya di angka 2-3 persen

"Ini adalah waktu yang tepat kita harus menghentikan dan mengontrolnya (tembakau) untuk mencegah terjadinya perburukan atau bahkan kematian akibat COVID-19," tambahnya.

Perokok juga berisiko tinggi mengalami penyakit jantung dan pernapasan, yang merupakan faktor risiko mengembangkan penyakit parah atau kritis dengan COVID-19.

"Indonesia adalah salah satu negara yang belum tergabung dalam WHO tobacco control dan ini menjadi hal yang tidak bagus bagi Indonesia dan mungkin dengan adanya COVID-19 bisa menjadi waktu yang tepat untuk meratifikasi FCTC dan bergabung bersama negara lain untuk mengentaskan permasalahan rokok," pungkasnya.

Tim Pakar Gugus Tugas Sebut New Normal Bukan untuk Bentuk Herd Immunity

Jelang penerapan new normal yang akan dilakukan pemerintah, beberapa sektor direncanakan akan kembali dibuka. Terkait hal ini, banyak orang yang mengaitkannya dengan upaya 'kesengajaan' untuk membentuk herd immunity di antara masyarakat.

Herd immunity adalah suatu bentuk kekebalan yang dimiliki satu kelompok masyarakat karena sebagian besar individu anggotanya memiliki imunitas terhadap penyakit. Hal ini biasanya diperoleh lewat program imunisasi massal.

Dalam konteks pandemi Corona COVID-19, beredar isu herd immunity didapatkan dengan sengaja membiarkan orang-orang terinfeksi penyakit. Nantinya mereka yang berhasil sembuh secara alami akan membentuk kekebalan sehingga bisa melindungi orang lain di kelompoknya.

Ketua Tim Pakar Gugus penanganan COVID-19, Prof Wiku Adisasmito menegaskan penerapan new normal ini bukan untuk membentuk herd immunity.

"Apakah terus pemerintah mengatakan kalau kita mulai bekerja, terus artinya oh ini maunya herd immunity? Bisa bertahun-tahun itu terbentuknya herd immunity," ujar Prof Wiku, dalam siaran langsung di BNPB pada Selasa (2/6/2020).

Prof Wiku mengatakan dalam penerapan new normal masih memperhatikan protokol kesehatan, seperti anjuran memakai masker, jaga jarak, dan mencuci tangan. Hal ini sebagai bukti penerapan new normal nantinya bukan bertujuan membentuk herd immunity di tengah masyarakat.

"Kita bayangkan saja, kalau kita tahu virus ini menularnya melalui droplet yang kita sampaikan pada orang lain, orang lain ke kita, padahal kita pakai masker sudah tercegah tuh satu," kata Prof Wiku.

"Kedua kita jaga jarak, tercegah kedua. Ketiga kita cuci tangan sebelum menyentuh mata, hidung, dan mulut tercegah lagi," sambungnya.

Menurutnya, herd immunity sulit terjadi di Indonesia karena kondisi geografis Indonesia yang cukup luas dan terdiri dari banyak pulau. Selain itu, untuk menciptakan herd immunity perlu mobilitas yang tinggi antar pulau dengan tidak memperhatikan protokol kesehatan.
http://cinemamovie28.com/scuba-mother-and-wife-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar