Ahli mengklaim musim panas bisa membantu mengurangi tingkat penularan virus Corona COVID-19. Dikatakan, paparan sinar matahari yang kuat selama 30 menit bisa membunuh atau memusnahkan virus.
Dikutip dari The Sun, penelitian baru menunjukkan bahwa temperatur 34 derajat Celcius dapat membantu menghentikan penyebaran virus Corona. Penelitian para ahli virologi Amerika Serikat (AS) yang dulu bekerja untuk Food and Drug Administration (FDA) dan US Army menunjukkan bahwa sinar matahari yang kuat dapat membunuh virus Corona di luar ruangan.
Mereka menemukan selama 30 menit sinar matahari langsung bisa membunuh virus Corona hingga 90 persen. Hal ini diartikan para peneliti jika seseorang yang terinfeksi Corona meninggalkan droplet di permukaan saat batuk, droplet tersebut akan hilang dengan cepat.
"Sinar matahari termasuk radiasi ultraviolet yang merusak DNA virus. Virus cenderung bertahan lebih baik dalam cuaca dingin karena mereka memiliki lapisan pelindung yang menurun ketika hangat," tulis mereka dalam jurnal Photochemistry and Photobiology.
"Orang sehat di luar ruangan yang menerima sinar matahari dapat memiliki jumlah virus yang lebih rendah dengan lebih banyak peluang untuk meningkatkan kekebalan yang efisien," klaim mereka.
Ada beberapa penelitian yang mengkonfirmasi hubungan antara sinar matahari, suhu tinggi di luar ruangan, dan virus Corona. Sebuah studi baru dari Pusat Analisis dan Penanggulangan Biodefense Nasional AS juga menemukan bahwa virus Corona yang melayang di udara berkurang 90 persen hanya dalam enam menit saat sinar matahari musim panas dan 19 menit saat sinar matahari musim dingin.
Meski begitu, belum bisa diartikan bahwa musim panas atau suhu tinggi aman dari Corona. Masih perlu banyak studi dan penelitian lebih lanjut terkait hubungan antara musim panas atau suhu yang tinggi berpotensi menurunkan tingkat penularan virus Corona COVID-19.
Demam Tinggi, Gejala DBD atau Virus Corona? Ini Bedanya
Sebanyak 410 dari 460 kabupaten/kota di Indonesia terdapat penularan kasus demam berdarah dengue (DBD) dan juga COVID-19. Ini membuktikan adanya infeksi ganda yang terjadi selama pandemi Corona berlangsung.
DBD dan COVID-19 diketahui sebagai penyakit yang bersumber dari virus dan menyebabkan gejala demam tinggi bagi pengidapnya. Namun, apa perbedaan gejala antara DBD dan COVID-19 selain demam?
Menurut ahli infeksi dan pediatri tropik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr Mulya Rahma Karyanti, Spa(K), perbedaan yang paling mencolok dari gejala keduanya adalah pasien COVID-19 tidak mengalami pendarahan seperti DBD.
"Jadi kalau untuk kasus DBD penyebabnya virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti," kata dr Mulya dalam siaran langsung BNPB melalui kanal YouTube, Senin (22/6/2020).
"Biasanya, keluhannya demam tinggi mendadak dan kadang disertai muka merah, dan nyeri kepala, nyeri di belakang mata, muntah-muntah, dan biasanya disertai pendarahan, itu yang tidak ada pada COVID," lanjutnya.
Pada beberapa kasus DBD, pasien juga ada yang mengalami gejala batuk-batuk. Namun, dr Mulya menekankan gejala seperti itu kemungkinan terjadinya sangat kecil.
"Pada DBD gejala batuk bisa saja terjadi, namun (hanya) 10-15 persen kecil persentasenya dan tidak sesak seperti COVID kan saluran napas atas keluhannya," jelasnya.
"Tapi ini lebih ke demam pendarahan kulit yang harus di waspadai, pendarahan apapun seperti, mimisan, gusi berdarah, dan memar itu harus diwaspadai," lanjutnya.
https://nonton08.com/darkest-day/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar