Selama masa PSBB dan imbauan untuk tetap berada di rumah, banyak yang jadi punya hobi baru. Salah satunya: memasak. Adanya anjuran untuk tinggal di rumah membuat sebagian besar orang jadi sering memasak dan berkreasi di dapur. Entah itu sekadar buat lauk sampai memanggang roti dan kue.
Beberapa orang mengaku dengan memasak, mereka merasa jauh lebih rileks dan fokus saat menjalani hari-hari di tengah wabah COVID-19. Tak mengherankan karena telah banyak penelitian yang menyebut memasak dan memanggang menjadi obat untuk mengatasi stres atau perasaan sedih.
Memasak memberikan seseorang rasa pencapaian, terutama dalam masa kecemasan yang tidak berujung. Memasak atau memanggang memberikan kita sesuatu yang konkret untuk dibuat, dikendalikan, dan dinikmati.
"Hal ini membantu mengurangi kecemasan yang berasal dari ketidaktahuan saat berurusan dengan pandemi," kata Michael Kocet, seorang penasihat kesehatan mental dan profesor berlisensi dan Ketua Departemen Pendidikan Konselor di Chicago School of Professional Psychology, dikutip dari CNN International.
Menguleni adonan, mengatur takaran, memberikan kita waktu untuk tetap fokus dan berefleksi. Langkah-langkah yang dilalui saat memasak membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang dapat membantu seseorang merasa tetap waras dan fokus.
Selain itu dengan memposting hasil masakan di media sosial dan menerima umpan balik yang positif dari orang lain dapat meningkatkan kepercayaan diri kita.
"Di situlah media sosial berperan dengan baik. Sekadar ungkapan 'wah kamu yang buat?' saya pikir sangat bisa membantu," tambahnya.
Jika ingin memulai 'terapi memasak' para ahli mendorong untuk mengawalinya dengan resep yang selalu ingin kamu coba. Bisa juga dengan bergabung ke klub memasak virtual atau berpartisipasi dengan berbagi foto kegiatan memasak di media sosial dengan tagar #quarantinebaking atau sejenisnya.
Apabila merasa stres saat mulai memasak, ketahuilah bahwa tidak perlu membuat sesuatu dengan hasil sempurna. Kegiatan ini adalah tentang bagaimana kita menikmati diri, bereksperimen dan mencoba sesuatu yang baru.
"Bagaimana orang menjaga kesehatan mental dan kebugarannya? Memasak dan memanggang tentu saja bisa menolong," pungkas Kocet.
Sulit Terdeteksi, Gejala Langka Pasien Corona Ini Bikin Dokter Bingung
Tim dokter dari New York, Amerika Serikat, melaporkan kasus tak biasa pada seorang pasien yang terinfeksi virus Corona COVID-19. Pasien adalah seorang dokter spesialis anestesiologi berusia 34 tahun tanpa ada riwayat penyakit penyerta.
Laporan yang dipublikasi di jurnal The Lancet mendeskripsikan pasien awalnya merasa sakit dan hasil tes menunjukkan positif influenza A. Setelah beristirahat selama 10 hari kondisinya membaik dan pasien kembali bekerja di fasilitas kesehatan.
Tak berapa lama, tiba-tiba saja pasien kembali jatuh sakit di sore hari saat bekerja. Ia langsung dibawa ke ruang gawat darurat dengan gejala demam, meriang, dan kesulitan bernapas. Pasien juga disebut mengalami reaksi badai sitokin, kondisi saat reaksi berlebih sistem imun menyerang sel tubuh yang sehat.
Timothy Harkin dari departemen pulmonologi di Mount Sinai Hospital menjelaskan hasil tes swab saluran napas atas pasien negatif untuk virus Corona COVID-19. Hasil pindaian menunjukkan paru-paru kanan pasien mengalami peradangan dengan ciri-ciri bulatan "halo" seperti infeksi jamur.
"Ciri-ciri peradangan ini sebelumnya tidak pernah dilaporkan dalam kasus-kasus COVID-19," tulis laporan seperti dikutip dari SCMP, Rabu (20/5/2020).
Pasien sempat diberikan antibiotik dan terapi standar lain namun kondisinya tidak membaik. Dokter curiga pasien terinfeksi corona sehingga tes kembali dilakukan, namun lagi-lagi hasilnya negatif.
Akhirnya tim di Mount Sinai Hospital memutuskan memakai teknik bronchoalveolar lavage (BAL) untuk mengambil sampel lendir dan jaringan paru-paru pasien. Teknik BAL jarang dilakukan karena bersifat invasif.
Hasilnya baru ketahuan pasien positif terinfeksi virus Corona. Saat itu kondisinya pasien sudah sembilan hari dirawat di rumah sakit.
Laporan menggarisbawahi keanehan yang terjadi dalam kasus ini, di antaranya badai sitokin terjadi begitu cepat dan absennya virus di saluran napas atas.
"Untuk sebuah penyakit yang lima bulan lalu sama sekali tidak diketahui, kemungkinan... masih terlalu dini bagi klinisi bisa yakin gejala apa yang umumnya terjadi," pungkas Timothy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar