Efektivitas vaksin COVID-19 Sinovac terungkap dalam studi baru di Chili. Usai vaksinasi berjalan, vaksin Sinovac disebut terbukti 67 persen efektif mencegah kasus COVID-19 bergejala.
Sementara untuk mencegah kasus COVID-19 berat yang membutuhkan rawat inap, efektivitasnya mencapai 85 persen. Kemudian, untuk mencegah kasus kematian akibat COVID-19 angka efektivitas berada di 80 persen.
"Ini adalah 'game changer' untuk vaksin Sinovac dan saya pikir itu meratifikasi cukup grafis diskusi tentang kemanjurannya," kata Rodrigo Yanez, wakil menteri perdagangan Chili, kepada Reuters, menyebut hal ini membantu WHO segera memberikan izin EUL.
Studi 'dunia nyata' di Chili melibatkan 10,5 juta warganya yang sudah divaksinasi dan belum menerima vaksin Corona. Interval vaksin Corona Sinovac atau pemberian dosis kedua rata-rata berada di 28 hari.
Studi di Chili mengamati dampak vaksinasi Sinovac sejak 2 Februari-1 April, menyesuaikan dengan usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, pendapatan, dan kebangsaan. Namun, yang menjadi persoalan, perlindungan pada kasus kematian COVID-19 tampak lebih rendah dari angka yang didapatkan di uji klinis.
Pada uji klinis vaksin Sinovac, vaksin Corona disebut mampu 100 persen mencegah kasus kematian akibat COVID-19. Sementara pada analisis dunia nyata, efektivitas menurun, berada di 80 persen.
Menurut para ahli, hal ini harus diperhatikan mengingat tak sedikit negara yang menghadapi gelombang kedua COVID-19 dengan kondisi lebih parah.
Rafael Araos, pejabat kesehatan masyarakat Chili yang mempresentasikan penelitian tersebut, menegaskan studi tak khusus melihat hasil atau dampak vaksinasi COVID-19 Sinovac pada beragam varian Corona termasuk P1 yang pertama kali diidentifikasi di Brasil.
https://tendabiru21.net/movies/the-sirens-song-2/
IDI soal Vaksin Nusantara: Jangan Cuma Andalkan Nasionalisme
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Daeng M Faqih angkat bicara soal polemik vaksin Nusantara. Menurutnya, vaksin berbasis sel dendritik besutan eks Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranto ini seharusnya tak hanya mengandalkan nasionalisme saja.
"Karena niatnya nasionalisme, sudahlah protokolnya cincai, nggak papa lah, kan nggak bisa begitu. Prosedur dan protokolnya itu harus juga disesuaikan, jangan hanya dipikir niat nasionalisme ini sendiri," tegas dr Daeng dalam diskusi daring bertema 'Siapa Suka Vaksin Nusantara', Sabtu (17/4/2021).
Terlebih, kata dia, teknologi dendritik bukan barang baru di Indonesia. dr Daeng menyebut platform dendritik pernah diuji coba untuk terapi kanker dan penelitiannya masih terus berjalan.
Perihal uji vaksin Nusantara yang dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto tanpa seizin BPOM, dr Daeng menilai semua vaksin COVID-19 yang kemudian dipakai di masyarakat harus diawasi pihak BPOM lantaran otoritas obat dan vaksin di Indonesia hanya berasal dari BPOM.
Tanpa lampu hijau mereka, tidak ada pihak manapun yang disebut dr Daeng berwenang memberikan izin penelitian hingga izin edar obat atau vaksin.
"Kita tahu protokol itu yang melakukan penilaian, itu hanya BPOM di Indonesia, jadi kalau bukan BPOM yang melakukan pengawasan dan penilaian siapa? Negara hanya melakukan amanahnya ke BPOM, kalau orang lain atau pihak lain itu tidak ada kewenangan," jelas dr Daeng.
"Apakah mampu pihak lain? Oh banyak yang mampu, Kemenkes pun mampu penilaian terhadap protokol itu mampu, tapi tidak memiliki otoritas wewenang dari negara," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar