Sudah disuntik vaksin COVID-19 rupanya tak menjamin seseorang kebal dari infeksi COVID-19. Misalnya baru-baru ini, istri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Atalia Praratya dinyatakan positif COVID-19 dalam keadaan sudah menerima 2 dosis vaksin COVID-19.
Ketua tim riset uji klinis vaksin COVID-19 dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Dr dr Kusnandi Rusmil, SpA(K) menjelaskan bahwa menurut riset, efikasi vaksin COVID-19 sebenarnya hanyalah 65 persen. Artinya, masih ada 35 persen kemungkinan seorang penerima vaksin terinfeksi COVID-19.
"Dari divaksin 35 persen tidak kebal, tapi dia bisa kena penyakit. Efektivitasnya itu 65 persen. Yang dia 65 persen itu tidak penyakit dan 35 persen kena penyakit," ujarnya dalam webinar oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Rabu (21/4/2021).
Menurutnya, seseorang yang sudah divaksin terkena COVID-19, umumnya gejala muncul hanya berupa gejala ringan. Akan tetapi, kondisi tersebut bergantung pada kondisi tubuh masing-masing orang. Pasalnya, setiap tubuh memiliki sensitivitas berbeda terhadap vaksin.
"35 Persen itu penyakitnya ringan karena sudah divaksin, tidak selalu dia kekebalannya penuh. Maksudnya, dia masih mungkin sudah divaksin kena penyakit. Tetapi kalau kena penyakit, dia ringan," imbuh Prof Kusnandi.
Mengatasinya, ia mengingatkan masyarakat Indonesia untuk tetap menggunakan masker meski sudah disuntik vaksin. Pasalnya, kekebalan tubuh ini baru benar-benar terbentuk jika kekebalan kelompok (herd immunity) sudah terbentuk, dengan vaksinasi mencapai 70 persen dari populasi Indonesia.
Selain itu, pola hidup sehat perlu tetap dijaga untuk meningkatkan kemampuan tubuh membentuk zat anti.
"Kalau sudah divaksin bukan berarti pasti kebal terhadap penyakit, karena kalau divaksin artinya bukan kebal, tapi kalau kena penyakit ringan. Begitu mottonya. Kalau sudah divaksin, bagusnya mempersiapkan tubuh sesehat mungkin," pungkas Prof Kusnandi.
https://nonton08.com/movies/spider-man/
Jarang Disadari, Diabetes Bisa Membunuh Diam-diam
Diabetes adalah salah satu penyakit kronis paling mematikan di dunia. Diabetes terjadi saat organ pankreas tidak dapat menghasilkan hormon insulin yang cukup. Hal ini juga dapat terjadi karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efektif.
Hormon insulin merupakan hormon yang berperan dalam pengaturan kadar gula darah. Oleh karena itu, adanya gangguan pada produksi dan kerja hormon insulin dapat mempengaruhi keseimbangan kadar gula darah sehingga menjadi tinggi.
Tingginya kadar gula darah yang tidak terkontrol pada diabetesi dapat menyebabkan berbagai komplikasi kesehatan berbahaya. Bahkan, WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa diabetes merupakan salah satu penyebab utama dari kasus kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung, stroke, serta amputasi tubuh bagian bawah.
Pasalnya, semakin tinggi kadar gula darah diabetes maka semakin tinggi pula ancaman risiko penyakit jantung. Diabetesi memiliki risiko penyakit jantung hingga 2,6 kali lebih tinggi, International Diabetes Federation (IDF) juga melaporkan diabetesi memiliki risiko penyakit ginjal tahap akhir sampai 10 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang sehat.
Melihat hal ini, tak heran jika diabetes masuk ke dalam 10 penyebab kematian terbanyak di dunia. Pada tahun 2019, IDF melaporkan 4,2 juta kasus kematian pada usia 20-79 tahun di dunia berkaitan dengan diabetes dan komplikasinya. Ini artinya setiap 8 detik ada 1 kasus kematian di dunia akibat diabetes dan komplikasinya.
Sementara itu di Indonesia, data menunjukkan bahwa jumlah diabetesi meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, tercatat angka prevalensi diabetesi di Indonesia berdasarkan pemeriksaan darah mencapai 8.5%, yang berarti sekitar 1 dari 12 orang Indonesia menderita diabetes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar