Jumat, 03 Januari 2020

Backpacker Mancanegara Saja Naik Bus dari Terminal Pulogebang

 Tak hanya populer di kalangan backpacker nusantara, Terminal Pulogebang nyatanya juga disambangi backpacker asing yang ingin pelesiran. Ini ceritanya.

Luas seperti bandara, Terminal Pulogebang juga menjadi pilihan bagi para backpacker asing dari Jakarta. Hal itu pun diungkapkan oleh staff Dishub DKI Jakarta, Krisna Febriatma saat ditemui detikcom di lokasi, Kamis (1/8/2019) kemarin.

"Di kita bukan hanya domestik, bule-bule backpacker ada juga. Apalagi kalau hari Jumat," ujar Krisna.

Jadi tak melulu traveler lokal. Para backpacker asing juga memanfaatkan PO Bus dari Terminal Pulogebang untuk berwisata di Indonesia. Pasalnya, ada PO Bus dari Terminal Pulogebang dengan rute Banyuwangi hingga Bali yang populer di kalangan turis asing.

"Ada yang ke Denpasar, Bali, Jepara, Karimun Jawa. Banyuwangi juga ada. Bawa papan surfing," sebut Krisna.

Dijelaskan oleh Krisna, mayoritas backpacker asing yang naik bus dari Terminal Pulogebang berasal dari negara Eropa. Hanya tak selalu, malah sempat ada turis dari Turki juga seperti dituturkan Krisna.

Untuk jumlah turis asing yang berwisata naik bus dari Terminal Pulogebang, Krisna pun mengaku kalau pihaknya belum melakukan pencatatan spesifik soal itu.

Kehadiran para turis asing di Terminal Pulogebang pun menjadi poin plus bagi dunia pariwisata Indonesia dan tentunya pihak pengelola. Tentunya hal ini seiring dengan visi misi pemerintah di sektor pariwisata.

"Kita sebagai pengelola dengan adanya bule point plus. Yang pasti mereka ke tempat wisata. Pulogebang sudah jadi simpul ke tempat destinasi. Akan terus disempurnakan seiring demgan program Pemerintah yang bisa menjangkau destinasi wisata," tutup Krisna.

Untuk informasi, harga tiket bus dari Terminal Pulogebang menuju Bali bervariasi dari Rp 450 ribu sekali jalan. Standar lama waktu perjalanan adalah sekitar 26 jam perjalanan.

Savana Bekol, Little Africa di Situbondo


Jika ingin merasakan berada di nuansa Afrika, tak perlu jauh-jauh ke sana. Situbondo punya tempat yang membuatmu berada di hamparan savana dengan kehidupan liar layaknya di Afrika.

Pagi hari di Banyuwangi, langit sudah mulai tampak mendung, tetapi keinginan untuk mengunjungi Little Africa di ujung timur adalah kesempatan yang tidak boleh untuk disia-siakan.

Bagi sebagian orang, melakukan traveling di musim penghujan sangatlah dihindari. Tetapi bagiku, setiap musim pastinya memiliki cerita dan pengalaman tersendiri. Berbekal info dari warga lokal akhirnya memberanikan diri menuju Wongsorejo menggunakan kendaraan roda dua. Sesekali, aspal jalanan tampak lembap berganti kering dari jalanan yang dilintasi.

Selepas Curahuser, bunyi mesin sepeda motor beradu dengan bunyi air mengenai helm. Hujan turun dengan deras. Pilihannya ada 2, tetap lanjut menggunakan jas hujan atau berhenti berteduh.

Jarak pandang yang terbatas membuat keputusan berhenti berteduh adalah pilihan tepat di salah satu toko penjual alat pancing. Hampir 1 jam aku berhenti, menunggu hujan deras berganti rintik sebelum bergegas melanjutkan perjalanan.

Akhirnya, setelah melaju kembali selama 20 menit, gerbang selamat datang menyambut, lengkap dengan simbol taman nasional berlatar gunung dan kerbau. Selepas membeli tiket masuk, jalanan berganti melintasi jalan yang hanya cukup dilewati sepasang mobil.

Berbagai vegetasi flora tumbuh di kiri dan kanan jalan. Bahkan sesekali, burung dan ayam hutan melintas dengan liarnya.

Rimbunnya pohon, seketika berubah menjadi padang rumput nan luas terhampar di depan mata. Musim penghujan membuat rumputnya menghijau, bukan lagi kuning kering. Bekol, begitulah nama dari savana ini. Sangat jelas tertulis di papan nama di kanan jalan ketika pemandangan itu berganti dan menjadi bagian dari Taman Nasional Baluran, bilah-bilah papan mencetaknya dengan jelas, sebagai penanda selamat datang.

Salah satu area, terdapat satu pohon sempurna berdiri sendiri, peneduh di tengah savana yang hijau. Beberapa meter dari pohon, ada semak belukar membentuk kolam lumpur hitam pekat. Dari situlah sesekali binatang bertanduk bermunculan. Sebuah suasana yang sangat jarang ditemui.

Rasanya tidak ingin membuang-buang waktu atas penawaran panorama di depan mata. Setelah peregangan keci, tatapan mataku dengan mantap tertuju ke sepasang tiang vertikal beratapkan daun. Di bawahnya, sejumlah tengkorak kepala banteng bergantungan. Tampak rongga-rongga kosong di sekitar tengkorak, menandakan tuanya umur tengkorak.

Tidak muncul rasa ngeri melihatnya, bahkan keberadaan tengkorak ini menjadi penyempurna daya tarik savana bekol. Tak berhenti disitu, dari balik gundukan tanah, secara perlahan, sekawanan kijang keluar dari peraduannya. Tanpa perlu adanya komando, mereka terus bergerak bergerombol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar