Weekend ini kenapa tidak mencoba sesuatu yang beda mengisi waktu luang? Yuk jelajah 3 kelenteng bersejarah di Kota Jakarta dan kenali budaya Tionghoa.
Jakarta, dalam sejarah panjang perjalanannya sebagai sebuah kota tentu memiliki banyak kisah mengenai penduduknya yang terdiri atas berbagai macam suku, agama, bahasa dan budaya. Seiring perjalanan sejarahnya, Jakarta yang pernah memiliki beberapa nama di masa lampau, seperti: Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia, sudah tersohor hingga ke mancanegara sebagai salah satu pusat perdagangan. Banyak pelaut dan pedagang manca negara singgah di kota pelabuhan ini.
Dalam buku 'Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta' karya A. Heuken Sj dituliskan bahwa sebagai Kota Pelabuhan, Jakarta sudah bercorak internasional sejak masih disebut Sunda Kelapa. Dan sejak berabad-abad yang lalu orang dari berbagai macam latar belakang suku, budaya dan agama sudah berinteraksi di tempat ini (A. Heuken Sj, 1997: 13). Interaksi sejak berabad-abad yang lalu tersebut masih terus berlangsung hingga saat ini, memberikan warna dan keunikan tersendiri dalam kehidupan penduduknya.
Terdapat banyak peninggalan bersejarah yang dapat bercerita mengenai interaksi dari berbagai macam suku, agama bahasa dan budaya yang telah terjadi sejak masa lampau di kota ini. Salah satunya adalah Rumah Peribadatan warga dari etnis Tionghoa yaitu kelenteng.
Dari beberapa sumber sejarah kita mengetahui bahwa pada abad ke-16 pedagang-pedagang dan pelaut Tionghoa menjadi saingan kuat pedagang-pedagang Portugis, Inggris dan Belanda. Pedagang dan pelaut dari Tionghoa tersebut tentu pernah singgah dan berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa.
Ketika para pedagang dan pelaut itu berada di perantauan tentu saja mereka memiliki kebutuhan untuk menjaga identitas spiritualnya dan untuk memenuhi kebutuhan itu mereka membangun Kelenteng dimana mereka bisa saling berinteraksi, berkumpul dan berdoa dalam keyakinan dan tradisi mereka. Kelenteng-Kelenteng yang didirikan pun biasanya memiliki kisah-kisah yang berkaitan dengan kehidupan spiritual dan tradisi masyarakat yang mendirikannya. Beberapa pedagang dan pelaut Tionghoa tersebut ada yang akhirnya menetap di seputaran Batavia, bekerja sebagai nelayan, pedagang, petani. dan sebagainya.
Di Jakarta terdapat beberapa Kelenteng bersejarah yang telah berusia ratusan tahun dan beberapa di antaranya telah menjadi cagar budaya karena tingginya nilai sejarahnya. Menurut penjelasan pemandu wisata dan beberapa sumber informasi, di Indonesia terkadang Kelenteng disamakan dengan Vihara, meskipun sebenarnya Kelenteng dan Vihara adalah berbeda.
Kelenteng merupakan tempat peribadatan umat Konghucu sementara Vihara merupakan tempat peribadatan umat Budha. Kerancuan ini terjadi karena setelah terjadinya peristiwa politik pada tahun 1965, pada tahun setelahnya ada pembatasan segala sesuatu yang mengandung unsur budaya Tionghoa.
Sehingga banyak umat Konghucu bergabung dengan salah satu agama dari 5 agama yang diakui negara saat itu, salah satunya adalah Budha yang mungkin lebih dekat secara tradisi. Begitu pula tempat peribadatannya mulai bergabung dan menggunakan nama Vihara. Namun seiring perjalanan waktu dan sejarah, pada saat ini Tahun Baru Imlek sudah diakui dan ditetapkan sebagai hari Libur Nasional.
Bertepatan dengan hari raya Imlek tanggal 5 Februari 2019 yang lalu saya berkesempatan mengikuti tour berkeliling beberapa Kelenteng bersejarah di Jakarta bersama komunitas wisatakreatif Jakarta yang dipandu oleh Ibu Ira dan Ibu Ameliya dari Team wisatakreatif Jakarta.
Bersama rombongan tur yang berjumlah sekitar 20 orang saya berkeliling ke beberapa Kelenteng bersejarah di Jakarta diantaranya yang akan dibahas dalam tulisan ringan ini adalah: Kelenteng Jin de Yuan (Vihara Dharma Bhakti) di Glodok, Kelenteng Sin Tek Bio (Vihara Dharma Jaya) di Pasar Baru ,dan Kelenteng Ancol (Vihara Bahtera Bhakti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar