Senin, 17 Februari 2020

Banyak Pembatalan Penerbangan, Turis ke Labuan Bajo Turun 36 Persen

Labuan Bajo, salah satu destinasi wisata prioritas Indonesia mengalami penurunan wisatawan. Hal ini, disebebkan oleh sejumlah faktor.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Timur mencatat jumlah penumpang pesawat yang datang di Bandara Komodo, Labuan Bajo, pada Januari 2019 sebanyak 18.445 orang atau menurun 36,17 persen dari Desember 2018 sebanyak 28.896 orang.

BPS juga mencatat jumlah keseluruhan penumpang yang datang maupun berangkat melalui Bandara Komodo mengalami penurunan dari Desember 2018 sebanyak 50.953 orang menjadi 34.730 orang di Januari 2019.

Wakil Bupati Manggarai Barat Maria Geong, ketika dihubungi Antara secara terpisah dari Kupang, mengakui bahwa arus penumpang pesawat yang datang ke daerah setempat menurun drastis pada Januari bahkan berlangsung hingga Februari 2019.

Menurutnya, salah satu penyebabnya karena adanya pembatalan layanan penerbangan dari sejumlah maskapai menuju daerah setempat.

"Garuda yang melayani rute Kupang-Ende-Labuan Bajo sempat tidak terbang, Wings Air yang langsung Kupang-Labuan Bajo juga tidak terbang, kemudian juga dengan maskapai penerbangan Citilink," katanya.

Maria mengaku pihaknya tidak mengetahui penyebab pembatalan layanan penerbangan sejumlah maskapai ini.

Namun, lanjutnya, kondisi tersebut turut menyumbang lemahnya kunjungan wisatawan ke tempat wisata di Labuan Bajo yang terkenal memiliki objek wisata Taman Nasional Komodo ini.

"Ini yang membuat pariwisata kami dalam dua bulan ini (Januari-Februari 2019) memang sangat lesu sekali karena tamu-tamu sepih," katanya.

Ia menambahkan, kondisi kunjungan wisatawan yang sepi ini akan berdampak pada berkurangnya pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah daerah setempat.

"Apakah memang ini karena low season, kami tidak tahu, tapi kali sangat sepi dan pasti akan berdampak pada PAD kami di tahun ini," katanya.

Seperti yang diketahui, belakangan wisata di Labuan Bajo menjadi polemik. Terlebih, beberapa isu yang akan dilakukan pemerintah setempat terhadap TN Komodo. Tentunya, hal ini juga akan menghambat aktivitas pariwisata yang menjadi salah satu sumber pencarian utama warga sekitar.

Kuy, Jelajah 3 Kelenteng Bersejarah di Ibu Kota

Weekend ini kenapa tidak mencoba sesuatu yang beda mengisi waktu luang? Yuk jelajah 3 kelenteng bersejarah di Kota Jakarta dan kenali budaya Tionghoa.

Jakarta, dalam sejarah panjang perjalanannya sebagai sebuah kota tentu memiliki banyak kisah mengenai penduduknya yang terdiri atas berbagai macam suku, agama, bahasa dan budaya. Seiring perjalanan sejarahnya, Jakarta yang pernah memiliki beberapa nama di masa lampau, seperti: Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia, sudah tersohor hingga ke mancanegara sebagai salah satu pusat perdagangan. Banyak pelaut dan pedagang manca negara singgah di kota pelabuhan ini.

Dalam buku 'Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta' karya A. Heuken Sj dituliskan bahwa sebagai Kota Pelabuhan, Jakarta sudah bercorak internasional sejak masih disebut Sunda Kelapa. Dan sejak berabad-abad yang lalu orang dari berbagai macam latar belakang suku, budaya dan agama sudah berinteraksi di tempat ini (A. Heuken Sj, 1997: 13). Interaksi sejak berabad-abad yang lalu tersebut  masih terus berlangsung hingga saat ini, memberikan warna dan keunikan tersendiri dalam kehidupan penduduknya.

Terdapat banyak peninggalan bersejarah yang dapat bercerita mengenai interaksi dari berbagai macam suku, agama bahasa dan budaya yang telah terjadi sejak masa lampau di kota ini. Salah satunya adalah Rumah Peribadatan warga dari etnis Tionghoa yaitu kelenteng.

Dari beberapa sumber sejarah kita mengetahui bahwa pada abad ke-16 pedagang-pedagang dan pelaut Tionghoa menjadi saingan kuatĂ‚  pedagang-pedagang Portugis, Inggris dan Belanda. Pedagang dan pelaut dari Tionghoa tersebut tentu pernah singgah dan berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa.

Ketika para pedagang dan pelaut itu berada di perantauan tentu saja mereka memiliki kebutuhan untuk menjaga identitas spiritualnya dan untuk memenuhi kebutuhan itu mereka membangun Kelenteng dimana mereka bisa saling berinteraksi, berkumpul dan berdoa dalam keyakinan dan tradisi mereka. Kelenteng-Kelenteng yang didirikan pun biasanya memiliki kisah-kisah yang berkaitan dengan kehidupan spiritual dan tradisi masyarakat yang mendirikannya. Beberapa pedagang dan pelaut Tionghoa tersebut ada yang akhirnya menetap di seputaran Batavia, bekerja sebagai nelayan, pedagang, petani. dan sebagainya.

Di Jakarta terdapat beberapa Kelenteng bersejarah yang telah berusia ratusan tahun dan beberapa di antaranya telah menjadi cagar budaya karena tingginya nilai sejarahnya. Menurut penjelasan pemandu wisata dan beberapa sumber informasi, di Indonesia terkadang Kelenteng disamakan dengan Vihara, meskipun sebenarnya Kelenteng dan Vihara adalah berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar