Pakar Biomolekuler dari Universitas Airlangga (Unair) Prof Ni Nyoman Tri Puspaningsih mengklaim ada mutasi Corona baru di Surabaya. Mutasi virus tersebut sangat jarang ditemui, yakni mutasi tipe Q677H.
"Ada dua mutan yang berdekatan dan dari peta sebaran di Indonesia, satu-satunya baru di Surabaya," jelas Ni Nyoman yang juga Wakil Rektor I Unair kepada detikcom, Minggu (30/8/2020).
Ni Nyoman mengatakan, posisinya dekat dengan pemotongan purin (enzim protease yang dimiliki sel inang dalam hal ini manusia, tepatnya pada sel paru-paru). Mutasi ini ada bersama-sama dengan mutasi D614G. Dari analisis pendahuluan, mutasi baru ini membantu energi antara purin dan spike semakin tinggi. Artinya, purin akan meningkat kemampuannya untuk lebih baik.
Jika dalam waktu dekat analisis telah selesai, Ni Nyoman menyebut akan merilis temuannya tersebut ke dalam jurnal internasional, karena temuan ini baru satu-satunya di Surabaya. "Ini menarik apakah dua mutan ini berpengaruh tak cuma ke tingkat kecepatan penyebarannya tapi juga hal lainnya," tambah Ni Nyoman.
Sebelumnya, pada April lalu mutasi virus Corona D614G terdeteksi di Indonesia. Karena keterbatasan data, mutasi D614G belum dimaknai apa-apa.
"Sebulan setelah Indonesia terkonfirmasi ada infeksi COVID-19, mutasi virus sudah ada di Indonesia. Mungkin lebih dulu dari informasi yang ada di Malaysia," jelasnya.
Di Malaysia mutasi Corona D614G mempunyai kemampuan menyebar 10 kali lebih cepat. Tapi sejauh ini, Ni Nyoman mengatakan belum ada kesimpulan apakah mutasi virus D614G berkaitan dengan dampak tingginya angka kematian pasien Corona atau tidak.
Awalnya, Ni Nyoman sempat mengira bahwa mutasi D614G banyak terjadi di Surabaya karena tingginya peningkatan kasus Corona di Surabaya pada Mei hingga Juli.
Selain membahas soal mutasi virus, pada bagian lain Ni Nyoman juga memaparkan upaya Unair dalam pembuatan vaksin COVID-19 dan obat pengembangan baru (OPB) untuk Corona.
Studi Sebut Virus Corona Dapat Bertahan pada Anak Berminggu-Minggu
Peneliti menyebut anak dapat membawa virus Corona COVID-19 dalam hitungan minggu, meskipun mereka tidak menunjukkan gejala apa pun. Hal ini ditemukan dalam penelitian di Korea Selatan.
"Dalam rangkaian studi kasus ini, infeksi yang tidak terlihat pada anak-anak mungkin telah dikaitkan dengan penularan COVID-19 secara diam-diam di tengah masyarakat," tulis para peneliti, dikutip dari laman CNN.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Pediatrics pada hari Jumat (28/8/2020) yang mencakup data pada 91 anak tanpa gejala, mulai timbul gejala Corona, dan gejala yang telah didiagnosis dengan COVID-19 antara 18 Februari dan 31 Maret di Korea Selatan.
Di antara pasien tersebut, 20 di antaranya atau sekitar 22 persennya tidak menunjukkan gejala Corona yang jelas selama dalam penelitian. Sebanyak 18 anak lainnya atau sekitar 20 persen tidak menunjukkan gejala Corona, artinya mereka tidak terlihat atau merasa sakit pada saat itu, tetapi pada akhirnya mereka menunjukkan gejala.
Sementara itu, lebih dari 71 anak atau sekitar 78 persen menunjukkan gejala seperti demam, diare, batuk, sakit perut, dan kehilangan kemampuan penciuman serta pengecap rasa. Durasi munculnya gejala Corona pada anak cukup bervariasi, mulai dari 1 hingga 36 hari.
"Ini menunjukkan bahwa anak-anak yang terkena dampak ringan dan sedang, tetap bergejala untuk jangka waktu yang lama," jelas Dr Roberta DeBiasi dan Meghan Delaney, dari Children's National Hospital di Washington, DC.
Selain itu, data juga menunjukkan bahwa hanya 8,5 persen dari anak yang menunjukkan gejala terinfeksi COVID-19. Sebagian besar, sekitar 66,2 persen anak memiliki gejala yang tidak dikenali sebelum diagnosis, sementara sekitar 25,4 persen baru menunjukkan gejala setelah didiagnosis Corona.
"Ini menyoroti bahwa anak-anak yang terinfeksi tidak mudah diketahui dengan baik, atau biasanya hadir tanpa menunjukkan gejala. Jika mereka melanjutkan aktivitas seperti biasa, hal ini dapat berkontribusi pada tingkat penularan virus Corona," tulis peneliti.
https://cinemamovie28.com/high-strung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar