Jumat, 21 Agustus 2020

BPOM Ungkap Ada 'Critical Finding', Bagaimana Nasib Obat Corona Unair?

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkap ada critical finding dalam uji klinis 3 kombinasi obat untuk virus Corona COVID-19 yang dilakukan tim Universitas Airlangga (Unair). Temuan kritikal itu harus diperbaiki dan diklarifikasi.
Kepala BPOM Penny K Lukito menjelaskan perlu ada klarifikasi data yang kritikal dari hasil inspeksi di senter penelitian di wilayah Bandung pada 27-28 Juli 2020. Klarifikasi tersebut menyangkut data laboratorium yang dapat membuktikan bahwa efektivitas kombinasi obat yang diuji lebih baik dibanding standar.

Hal lain yang perlu diklarifikasi adalah efektivitas pada subjek dengan derajat penyakit sedang dan berat, karena semua kasus di SECAPA Bandung adalah pasien dengan gejala ringan. Bahkan ada yang tanpa gejala dan seharusnya tidak perlu mendapat obat.

Klarifikasi dan perbaikan tersebut nantinya akan dinilai oleh BPOM.

Jika perbaikan dan klarifikasi tersebut tidak dapat mendukung validitas hasil uji klinik, maka peneliti harus mengulang pelaksanaan uji klinik
Badan POM

"Jika perbaikan dan klarifikasi tersebut tidak dapat mendukung validitas hasil uji klinik, maka peneliti harus mengulang pelaksanaan uji klinik," demikian tulis BPOM dalam rilisnya.

Dalam konferensi pers di channel YouTube BPOM, Penny menyampaikan beberapa catatan. Selain soal sampel yang tidak merepresentasikan randomisasi, hasil uji klinis juga belum memenuhi nilai kebaruan.

"Belum menunjukkan perbedaan yang signifikan," tegas Penny.

Ketiga kombinasi obat yang menjalani uji klinis adalah sebagai berikut:

Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin
Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyclin
Hydrochloroquine dan Azithromycin.

Soal Uji Klinis Obat Corona, Efek Samping Tak Jadi Pertimbangan Utama

Bagi orang awam, pertimbangan utama dalam memilih suatu obat adalah bagaimana efek sampingnya. Sedangkan dalam uji klinis, efek samping bukan satu-satunya faktor yang menentukan.
Prof Rianto Setiabudi, SpFK (K), anggota KOMNAS Penilai Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menjelaskan pertimbangan terkait uji klinis suatu obat tidak sebatas efek samping. Adanya efek samping obat tidak lantas membuat obat ditolak.

Hal ini dikarenakan pertimbangan risk and benefit, yakni rasio antara risiko dan manfaat. Ia mengambil contoh dalam efek samping dari obat kanker.

Prof Rianto menjelaskan, obat anti kanker itu adalah kelompok obat dengan efek samping yang dahsyat, sering kali efek sampingnya rambut rontok, tidak ingin makan, dan luka di mana-mana.

"Obat itu bisa memperpanjang hidup orang sekian bulan atau sekian tahun. Jadi mohon dimengerti efek samping yang ada itu tidak merupakan satu-satunya pertimbangan," jelas anggota KOMNAS Penilai Obat, Prof Rianto Setiabudi, SpFK (K), dalam konferensi pers di channel YouTube BPOM, Rabu (19/8/2020).

"Sering kali efek samping bisa dikurangi dengan memodifikasi dosis, misalnya mengatasi dosisnya atau cara pemberiannya diberikan sesudah makan," tambah Prof Rianto.
https://nonton08.com/answer-me-parody-part-1-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar