Jumat, 31 Juli 2020

Indonesia Pernah Hadapi Flu Spanyol, Jawa-Madura Jadi Episentrum

 Kondisi Indonesia saat menghadapi pandemi virus Corona COVID-19 disebut mirip seperti saat menghadapi flu spanyol 102 tahun silam. Jawa dan Madura juga menjadi episentrum wabah kala itu.
Menurut Syefri Luwis, seorang peneliti sejarah wabah dari Universitas Indonesia, sekitar 102 tahun yang lalu Indonesia juga turut merasakan dampak pandemi flu spanyol. Oleh sebab itu, sejarah ini bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah menghadapi virus Corona.

"Sekitar 102 tahun yang lalu, kita sudah pernah mengalami flu spanyol. Akan tetapi, masyarakat sekarang bertindak seolah-olah baru mengalami kejadian ini," tukas Syefri dalma diskusi di BNPB baru-baru ini.

Flu spanyol diperkirakan sudah ada sejak perang dunia pertama, tetapi informasinya tidak menyebar sangat luas dikarenakan dapat melemahkan mental tentara yang berperang saat itu. Berbagai teori mengatakan bahwa penyakit flu spanyol berasal dari Amerika atau China. Akan tetapi belum ada kepastian dari mana virus ini berasal.

Dijuluki sebagai flu spanyol karena saat itu Spanyol adalah negara pertama yang berani memberitakan mengenai wabah penyakit ini. Flu spanyol sendiri memiliki kesamaan yang serupa dengan virus Corona, seperti mudah menular bahkan mematikan.

Jumlah korban dari wabah ini diperkirakan memakan sebanyak 20 hingga 100 juta orang di seluruh dunia. Penelitian terbaru juga mengklaim bahwa untuk daerah Jawa dan Madura saja, kurang lebih memakan sebanyak 4,37 juta jiwa dengan kisaran penduduk 60 juta orang.

Sama seperti wabah COVID-19, daerah Jawa saat itu juga menjadi episentrum penyakit flu spanyol dikarenakan jumlah penduduk yang sangat padat dibandingkan daerah Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Demikian juga kapal laut dari luar negeri banyak memasuki kawasan Jawa untuk kebutuhan bisnis.

Kesamaan lain juga didapatkan dari cara mengatasinya. Saat terjadi wabah flu spanyol, sejumlah dokter menyarankan untuk tidak melakukan kegiatan kumpul-kumpul, mengingat virus ini dengan mudah menyebar. Akan tetapi, saat itu larangan kumpul-kumpul tidak disetujui oleh pihak kehakiman karena dianggap dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Akibatnya, korban penyakit dari flu spanyol melonjak tinggi saat itu.

"Dinas kesehatan saat itu tidak mengizinkan masyarakat untuk kumpul-kumpul. Namun, direktur kehakiman justru khawatir akan terjadi keresahan masyarakat, jika mereka tidak diizinkan kumpul-kumpul," ujar Syefri.

Heboh Predator 'Fetish Kain Jarik', dr Boyke Buka Suara Soal Kelainan Seks

Belakangan, heboh soal Gilang dan dugaan fetish berkedok riset ilmiah. Gilang memiliki riset 'bungkus-membungkus' yang membuat korban harus 'dibungkus' seperti pocong.
Kisah ini ramai di akun Twitter @m_fikris, sang pemilik akun mengaku menjadi korban. Ia sempat membantu 'riset' Gilang, di mana dirinya dibungkus seperti pocong hingga tiga jam.

Pada akhirnya, ia sadar bahwa 'riset' ini semata-mata melecehkan dirinya kala diingatkan oleh teman. Teman pemilik akun menyebut, tindakan ini termasuk fetish.

"Nah setelah gw ngobrol ama temen gw. Katane hal2 kek pocong (dibungkus jarik) itu adalah fetish/kink gitu lah. Gw dikasih link beritane, gw kirim ke gilang dong. Dan ampe gw nulis ini gak dibales," tulis akun tersebut.

Pakar seks dr Boyke Dian Nugraha menilai kasus 'Gilang dan bungkus-membungkus' memang memiliki beberapa unsur paraphilia atau penyimpangan seksual. Termasuk fetish, di mana seseorang memiliki rangsangan pada objek-objek yang tidak biasa seperti benda mati.

"Fetish itu penyimpangan seksual, jadi penyimpangan seksual kita kenal dengan paraphilia. Paraphilia itu keterangsangan seseorang sampai dia orgasme itu dengan objek-objek yang tidak biasa," kata dr Boyke saat dihubungi detikcom.
https://nonton08.com/dragon-eyes/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar