Sabtu, 07 Desember 2019

PDIP: Jokowi Tidak Harus Emosional Sikapi Isu Amandemen UUD 1945

Wakil Ketua MPR RI Fraksi PDIP Ahmad Basarah menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya tidak harus menyampaikan pernyataan yang cenderung emosional dalam menyikapi isu perihal amandemen UUD 1945.

"Ya sebenarnya Pak Jokowi tidak harus menyampaikan pernyataan yang cenderung emosional menyikapi soal dinamika wacana dan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali haluan negara," kata Basarah di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (6/12/2019).

Basarah menyakini Jokowi tidak mendapatkan masukan yang menyeluruh, termasuk pandangan dari setiap fraksi-fraksi di MPR mengenai wacana amandemen UUD 1945. Jokowi diketahui sempat menyebut bahwa amandemen tidak perlu dilakukan, karena tidak ingin menyerempet ke hal lain selain perihal garis besar haluan negara (GBHN).

"Kalau beliau mendapatkan masukan-masukan yang lengkap, yang komprehensif, yang menyeluruh, terutama dari pandangan-pandangan fraksi-fraksi di MPR RI yang setuju untuk menghadirkan kembali haluan negara melalui amandemen terbatas, termasuk fraksi dari partai politik beliau sendiri yaitu PDI Perjuangan," ucap Basarah.

Dia menegaskan rencana amandemen UUD 1945 tidak semata menjadi usulan MPR. Ketua DPP PDIP itu menyebut amandemen UUD 1945 yang bersifat terbatas juga merupakan aspirasi masyarakat.

"Wacana dengan rencana amandemen terbatas ini bukan lagi menjadi, bukan menjadi wilayah aspirasi partai-partai politik saja. Karena, selain dari serap aspirasi yang ditampung oleh MPR, dalam kegiatan badan pengkajian MPR sejak periode 2009-2014, lalu dilanjutkan terjadi 2014-2024, usulan wacana amanademen terbatas itu adalah aspirasi yang diserap. Jadi kesepakatan MPR periode sebelumnya dan ditindaklanjuti MPR sekarang ini," paparnya.

Namun, Basarah tak semata menyoroti pernyataan Jokowi. Ia juga menyinggung peran Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg).

"Ini seharusnya Mensesneg selaku pembantu presiden urusan kenegaraan dapat membuka komunikasi dan koordinasi politik yang baik, terutama dalam fraksi-fraksi di MPR," tegasnya.

"Kemudian bahan-bahan masukan itu dilaporkan ke Presiden, sehingga presiden mengerti urgensi, mengerti kembali haluan negara lewat amandemen terbatas UUD 1945," imbuh Basarah.

Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat menyatakan bahwa ia tidak ingin urusan amandemen terbatas UUD 1945 menjadi liar dengan menyerempet pasal-pasal lain. Jokowi menyebut tidak perlu untuk amandemen UUD.

"Jawaban saya, apakah bisa amendemen dibatasi? Untuk urusan haluan negara, jangan melebar ke mana-mana. Kenyataannya seperti itu kan. Presiden dipilih MPR, presiden 3 periode, presiden satu kali 8 tahun. Seperti yang saya sampaikan, jadi lebih baik tidak usah amendemen," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (2/12).

Amini Jokowi, NasDem: Amandemen UUD 1945 Tak Harus Sekarang

 Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak amandemen UUD 1945 karena dikhawatirkan muncul wacana-wacana liar seperti masa jabatan presiden dan lain sebagainya. NasDem sepakat dengan Jokowi jika saat ini lebih memprioritaskan tantangan global ketimbang amandemen.

"Kita setuju. Itu harus dibicarakan dengan masyarakat secara luas. Kalau presiden merasa situasi sekarang Indonesia atau politik lebih fokus untuk menjaga kondisi di dalam negeri yang stabil untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang begitu berat, kami setuju dengan pendapat itu," ujar Sekjen DPP NasDem Johnny G Plate di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2019).

NasDem menilai pendapat Jokowi yang tidak perlunya amandemen UUD 1945 saat ini masuk akal. Dengan demikian, kata Johnny, amandemen bisa dibahas di lain waktu.

"Kalau itu maka masuk akal sekali, pada saat di mana tantangan kita begitu luar biasa, dari global, maka dalam negeri kita harus fokus, apakah tepat momentumnya untuk meneruskan pembicaraan amendemen konstitusi yang bisa ramai sekali, atau berhenti pakai dulu. Kan ada waktunya nanti, kan tidak harus buru-buru sekarang," ujarnya.

Johnny menekankan, masyarakat perlu dilibatkan jika ada pembahasan mengenai amandemen UUD 1945. NasDem tidak ingin amandemen hanya menjadi kepentingan kelompok atau orang tertentu.

"Kami, saya, sebagai sekjen (NasDem), setuju dengan pendapat presiden, karena itu bukan datang dari presiden, jangan sampai dikaitkan dengan presiden. Orang presiden nggak minta. Pak Jokowi nggak minta, terus dibilang Pak Jokowi minta. Ya nggak," ucap Johnny.

Menkominfo itu pun menegaskan bahwa wacana amandemen UUD 1945 tak terkait dengan Jokowi. Sebelumnya, akibat wacana amandemen UUD 1945 yang jadi melebar seperti masa jabatan presiden 3 periode, Jokowi sampai membagi menjadi tiga golongan: ingin menampar wajah Jokowi, ingin mencari muka, dan ingin menjerumuskan Jokowi.

Bela Jokowi yang Dinilai Emosional Sikapi Isu Amandemen, PD: Dia Rasional

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut cenderung emosional dalam menyikapi isu amandemen UUD 1945. Partai Demokrat membela Jokowi.

"(Pernyataan Jokowi) Rasional," kata Ketua DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon, kepada wartawan, Sabtu (7/12/2019).

Jansen mengatakan terkait wacana amandemen UUD 1945, Partai Demokrat menolak. Dia menilai belum ada kepentingan mendesak hingga perlu ada amandemen UUD 1945.

"Demokrat sepakat. Karena tidak ada urgensinya juga melakukan amandemen UUD '45 sekarang ini kan. Apa coba alasan mendesaknya? Kan tidak ada. Kalau soal GBHN yang dipersoalan, kita sekarang ini kan sudah punya Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJM)," ujar Jansen.

Dia mengatakan bila memang RPJM dinilai kurang, maka semestinya GBHN dibuat dalam bentuk UU. Menurutnya langkah tersebut lebih tepat.

"Kalau itu dianggap masih kurang dan tetap memaksa harus ada GBHN, mari kita susun GBHN tapi bentuknya UU. Ngapain kita harus 'mengotak-atik' UUD segala. Toh di DPR perwakilan semua partai juga sudah ada. Dan UU yang terkait hubungan pusat dan daerah memang DPD dilibatkan kan. Jadi sudah lengkap semua," ungkapnya.

Menurutnya, jika hanya ingin ada GBHN, langkah amandemen terbatas UUD 1945 terlalu jauh dan panjang prosesnya. Jansen juga memahami kekhawatiran Jokowi soal pembahasan amandemen nantinya malah melebar lebih dari GBHN.

"Jadi terlalu jauh kita mau mengubah UUD Negara RI 1945 jika maksudnya hanya untuk membuat GBHN ada kembali. Tinggal kita ganti RPJMP dan dilakukan penambahan, lebih cepat dan pendek langkahnya. Karena sekali UUD ini kita buka, bisa macam-macam yang ingin diubah kan. Seperti yang ditakutkan Presiden. Dan ini pasti akan menyita energi bangsa ini, karena ini soal konstitusi kan. Hukum tertinggi bagi semua," kata Jansen.

Wakil Ketua MPR RI Fraksi PDIP Ahmad Basarah menyebut Presiden Jokowi seharusnya tidak harus menyampaikan pernyataan yang cenderung emosional dalam menyikapi isu perihal amandemen UUD 1945.

Basarah menyakini Jokowi tidak mendapatkan masukan yang menyeluruh, termasuk pandangan dari setiap fraksi-fraksi di MPR mengenai wacana amandemen UUD 1945. Jokowi diketahui sempat menyebut bahwa amandemen tidak perlu dilakukan, karena tidak ingin menyerempet ke hal lain selain perihal garis besar haluan negara (GBHN).

"Ya sebenarnya Pak Jokowi tidak harus menyampaikan pernyataan yang cenderung emosional menyikapi soal dinamika wacana dan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali haluan negara," kata Basarah di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (6/12).

Nilai Jokowi Emosional Sikapi Isu Amandemen, PDIP Salahkan Mensesneg

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) emosional saat menyampaikan pandangan soal isu liar amandemen UUD 1945. Basarah menilai sikap itu timbul karena fungsi Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno tidak berjalan maksimal.

"Ini seharusnya Mensesneg selaku pembantu presiden urusan kenegaraan dapat membuka komunikasi dan koordinasi politik yang baik, terutama dalam fraksi-fraksi di MPR," kata Basarah di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (6/12/2019).

"Kemudian bahan-bahan masukan itu dilaporkan ke Presiden, sehingga Presiden mengerti urgensi, mengerti kembali haluan negara lewat amandemen terbatas UUD 1945," imbuhnya.

Basarah kemudian menyinggung mengenai pola komunikasi politik di lingkungan Istana. Dia meminta Pratikno agar meningkatkan komunikasi dengan MPR tentang rencana amandemen UUD 1945.

"Dalam konteks ini, fungsi-fungsi koordinasi politik dan koordinasi di Presiden, di lingkungan Istana Negara, Mensesneg harus lebih efektif, berkoordinasi dengan publik, berkoordinasi dengan kami di MPR," sebutnya.

Basarah juga menyebut Pratikno tidak pernah mengundang Fraksi PDIP di MPR untuk menjelaskan rencana amandemen UUD 1945. Dengan begitu, Fraksi PDIP tidak bisa memberikan masukan ke Jokowi.

"Kami saja dari Fraksi PDIP tak pernah diundang oleh Mensesneg untuk meminta pandangannya bagaimana Fraksi MPR terkait amandemen UUD ini, yang sebenarnya bisa menjadi masukan kepada Pak Jokowi sebagai kepala negara dan pemerintah," ujarnya.