Kamis, 21 November 2019

Komnas HAM: Penembakan 22 Mei Bukan Dilakukan Polisi, Ada Aktor Terorganisir

 Komnas HAM telah melakukan investigasi terkait penembakan yang mengakibatkan 10 orang meninggal dunia saat aksi demonstrasi yang berlangsung pada 21-23 Mei 2019. Berdasarkan temuan yang dilakukan Tim Pencari Fakta (TPF), Komnas HAM menyebut penembakan dalam demo ricuh itu bukan dilakukan kepolisian.

"Pada peristiwa Mei, kami sudah memeriksa kepolisian. Kepolisian juga sudah dari uji balistik itu memang tidak ditemukan sisa misal selongsong dan juga tidak ada senjata yang digunakan untuk peluru tajam itu. Jadi memang kami menyimpulkan korban meninggal karena peluru tajam itu bukan oleh aparat kepolisian," ujar Wakil Ketua TPF Beka Ulung Hapsara di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).

Beka Ulung menyebut, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap kepolisian, tak ada senjata yang dibawa oleh aparat yang bertugas mengamankan demo. Beka menilai ada 'aktor' lain dalam peristiwa 22 Mei tersebut.

"Investigasi kami begini, kami memanggil dari Irwasum terus Kadivkum, terus Puslabfor, terus Kapolres Jakbar, Jaktim, Jakpus sampai komandan satuan kepolisian saat itu bertugas," katanya.

Aktor tersebut, kata Beka Ulung, merupakan kelompok yang sudah terorganisasi. Dalam rekonstruksi yang sudah dilakukan, pola yang digunakan untuk melakukan penembakan mirip dengan peristiwa lainnya.

"Fakta ada korban yang tertembak bisa dari samping ketika kemudian kami rekonstruksi antara kelompok massa kemudian polisi ternyata korbannya itu (tertembak) dari samping. Itu kemudian faktanya sementara polisi ada di depan," katanya.

"Kedua pola peristiwa yang ada hampir sama antara korban 2 dengan yang lain dan itu saya kira membuktikan bahwa mereka terorganisir," sambungnya. https://bit.ly/2O7BOfj

Terkait uji forensik yang dilakukan polisi terhadap korban, Beka Ulung mengaku Komnas HAM dilibatkan juga. "Iya kami diminta untuk menyaksikan prosesnya segala macam," katanya.

Ini Kesimpulan Komnas HAM di Peristiwa 22 Mei, Soroti Kekerasan oleh Polisi

 Komnas HAM menemukan adanya kekerasan yang dilakukan oknum kepolisian saat aksi demonstrasi yang berlangsung pada 21-23 Mei 2019. Selain itu, berbagai temuan dipaparkan oleh Komnas HAM melalui Tim Pencari Fakta (TPF).

"Kekerasan yang terjadi dalam peristiwa 21-23 Mei 2019 adalah kelanjutan dari sikap yang menolak hasil pilpres yang telah diumumkan oleh KPU RI," ujar Wakil Ketua TPF Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam konferensi pers di Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).

Peristiwa 21-23 Mei 2019 bermula dari aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang berujung ricuh. TPF Komnas HAM disebut Beka telah bertemu dengan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Polri yang dipimpin Komjen Moechgiyarto pada 11 dan 17 Juni 2019. Informasi dari TGPF Polri, Beka menyebut ada 10 orang tewas dari peristiwa tersebut di Jakarta dan Pontianak.

Beka menyebut 8 orang terluka tembak dan 1 orang terluka di kepala dari hantaman benda tumpul di Jakarta. Sedangkan seorang lagi di Pontianak mengalami luka tembak.

"Empat dari 10 orang yang meninggal dunia adalah anak-anak sehingga patut diduga ada upaya menjadikan anak-anak sebagai korban dan sasaran kekerasan untuk memancing emosi massa," kata Beka.

Beka pun meminta polisi untuk segera menemukan siapa pelaku yang telah menewaskan 10 orang itu. Setelahnya para pelaku itu harus diproses hukum. https://bit.ly/2O55ERC

Komnas HAM Mengungkap 3 Hari Berdarah di Akhir Mei

Komnas HAM mengungkap hasil investigasi yang dilakukan Tim Pencari Fakta (TPF) terkait demo ricuh 21-23 Mei 2019. Investigasi dilakukan terkait jatuhnya korban jiwa di akhir Mei tersebut.

"Kekerasan yang terjadi dalam peristiwa 21-23 Mei 2019 adalah kelanjutan dari sikap yang menolak hasil pilpres yang telah diumumkan oleh KPU RI," ujar Wakil Ketua TPF Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam konferensi pers di Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).

TPF Komnas HAM telah bertemu dengan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Polri yang dipimpin Komjen Moechgiyarto pada 11 dan 17 Juni 2019. Informasi dari TGPF Polri, Beka menyebut ada 10 orang tewas dari peristiwa tersebut di Jakarta dan Pontianak.

Beka menyebut 8 orang terluka tembak dan 1 orang terluka di kepala dari hantaman benda tumpul di Jakarta. Sedangkan seorang lagi di Pontianak mengalami luka tembak.

"Empat dari 10 orang yang meninggal dunia adalah anak-anak sehingga patut diduga ada upaya menjadikan anak-anak sebagai korban dan sasaran kekerasan untuk memancing emosi massa," kata Beka.

Selain itu, TPF Komnas HAM juga menyoroti kekerasan yang dilakukan oknum polisi. Bukti kekerasan itu disebut terekam dalam video di Kampung Bali, di depan kantor Kementerian ATR/BPN, di Jalan Kota Bambu Utara I, di Pos Penjagaan Brimob, dan di Jalan KS Tubun.

Beka mengatakan kekerasan itu tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Untuk itu, dia meminta petinggi Polri untuk menjatuhkan tindakan tegas pada para oknum itu.

TPF juga menemukan adanya laporan orang hilang setelah peristiwa 21-23 Mei tersebut. Beka mengatakan total ada 32 laporan orang hilang yang diduga akibat akses informasi dari kepolisian yang tidak sampai pada keluarga. https://bit.ly/2rb1UFq

Komnas HAM: Korban Tewas Bukan Ditembak Polisi

Komnas HAM menyebut delapan korban di Jakarta tewas terluka tembak, sedangkan seorang lainnya terluka di kepala akibat hantaman benda tumpul. Sedangkan seorang korban di Pontianak juga terluka tembak. Beka mengatakan penembak diduga orang terlatih.

"Jatuhnya korban meninggal 8 orang di Jakarta dan 1 orang di Kota Pontianak akibat luka tembak dengan peluru tajam yang tersebar dalam 9 titik lokasi yang berjarak cukup jauh dan dalam waktu yang hampir bersamaan menunjukkan bahwa pelakunya adalah terlatih dan profesional dalam menggunakan senjata api," kata Beka.

Dari informasi itu, Beka menyimpulkan pelaku penembakan lebih dari 1 orang. Dia mengatakan ada kemiripan luka yang didapat korban. Sehingga diduga aktor penembakan merupakan kelompok terorganisir.

Komnas HAM menyatakan pelaku penembakan bukan polisi karena tidak ada anggota Polri yang membawa senjata api peluru tajam dalam pengamanan demo. Hal ini diketahui setelah dilakukan pemeriksaan terhadap Irwasum, Kadivkum Mabes Polri, hingga komandan satuan yang bertugas.

"Fakta ada korban yang tertembak bisa dari samping ketika kemudian kami rekonstruksi antara kelompok massa kemudian polisi ternyata korbannya itu (tertembak) dari samping. Itu kemudian faktanya sementara polisi ada di depan," katanya.

"Kedua pola peristiwa yang ada hampir sama antara korban satu dengan yang lain dan itu saya kira membuktikan bahwa mereka terorganisir," sambungnya https://bit.ly/2QObfxN