Kamis, 21 November 2019

Temuan Komnas HAM: Aparat Gunakan Kekerasan Berlebihan di Demo 22 Mei

 Komnas HAM mengatakan ada temuan awal tentang penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat terkait penanganan kericuhan saat aksi 21-22 Mei 2019. Meski demikian, saat ini penyelidikan masih terus berlangsung.

"Temuan awal begitu ada penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (11/10/2019).

Temuan penggunaan kekerasan oleh aparat itu disebut terkait adanya korban meninggal. Beka menyatakan Komnas HAM sudah meminta keterangan Kapolres Jakarta Barat terkait peristiwa seputar kericuhan 21-22 Mei.

"Yang jelas, temuan kami ada kekerasan ada korban yang meninggal ada kemudian pembakaran dan ini baru temuan belum jadi kesimpulan karena kami harus minta keterangan kepolisian seperti apa penanganannya apakah sudah sesuai protap atau tidak kemudian bagaimana soal provokasi di internet dan social media itu kan juga ke perhatian kami. Kami sudah minta keterangan dari Kapolres Jakbar kemudian komunikasi dengan polda dan mengunjungi juga Rutan Polda," ujarnya. https://bit.ly/2XyLjXZ

Nantinya, kata Beka, Komnas HAM bakal membuat kesimpulan apakah temuan awal tentang penggunaan kekerasan berlebihan itu hanya kelakuan oknum aparat atau ada perintah. Saat ini, Komnas HAM masih menginvestigasi hal itu.

"Itu nanti apakah kekerasan berlebihan oleh aparat ini memang dipengaruhi oleh oknum saja atau memang ada perintah atau komando itu yang kita cari," ujarnya.

Sebelumnya, Ombudsman juga telah memaparkan hasil evaluasi lewat rapid assessment (RA) atau penilaian cepat terkait tindakan Polri dalam pengamanan demonstrasi yang berujung ricuh pada 21-22 Mei 2019. Menurut Ombudsman, ada empat hal yang menjadi temuan dalam penilaian itu.

Salah satu temuannya adalah terkait cara bertindak Polri. Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu menyebut polisi menggunakan senjata dan alat-alat kepolisian yang dalam penggunaannya seharusnya dilaporkan ke atasan setiap hari.

"Nah, di dalam pelaksanaannya terkait pengamanan, misalnya ada aktivitas-aktivitas yang kita tahu semua pada 21-22 itu ada penggunaan senjata, ada penggunaan alat-alat kepolisian yang seharusnya oleh atasan yang ada di lapangan itu selalu dilaporkan setiap harinya dan dalam temuan kami laporan sebagai bagian dari upaya melakukan evaluasi dan pengawasan itu yang tidak dilakukan secara efektif sehingga ada penyimpangan prosedur," kata anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (10/10). https://bit.ly/2O5bSRI

Komnas HAM: Penembakan 22 Mei Bukan Dilakukan Polisi, Ada Aktor Terorganisir

 Komnas HAM telah melakukan investigasi terkait penembakan yang mengakibatkan 10 orang meninggal dunia saat aksi demonstrasi yang berlangsung pada 21-23 Mei 2019. Berdasarkan temuan yang dilakukan Tim Pencari Fakta (TPF), Komnas HAM menyebut penembakan dalam demo ricuh itu bukan dilakukan kepolisian.

"Pada peristiwa Mei, kami sudah memeriksa kepolisian. Kepolisian juga sudah dari uji balistik itu memang tidak ditemukan sisa misal selongsong dan juga tidak ada senjata yang digunakan untuk peluru tajam itu. Jadi memang kami menyimpulkan korban meninggal karena peluru tajam itu bukan oleh aparat kepolisian," ujar Wakil Ketua TPF Beka Ulung Hapsara di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).

Beka Ulung menyebut, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap kepolisian, tak ada senjata yang dibawa oleh aparat yang bertugas mengamankan demo. Beka menilai ada 'aktor' lain dalam peristiwa 22 Mei tersebut.

"Investigasi kami begini, kami memanggil dari Irwasum terus Kadivkum, terus Puslabfor, terus Kapolres Jakbar, Jaktim, Jakpus sampai komandan satuan kepolisian saat itu bertugas," katanya.

Aktor tersebut, kata Beka Ulung, merupakan kelompok yang sudah terorganisasi. Dalam rekonstruksi yang sudah dilakukan, pola yang digunakan untuk melakukan penembakan mirip dengan peristiwa lainnya.

"Fakta ada korban yang tertembak bisa dari samping ketika kemudian kami rekonstruksi antara kelompok massa kemudian polisi ternyata korbannya itu (tertembak) dari samping. Itu kemudian faktanya sementara polisi ada di depan," katanya.

"Kedua pola peristiwa yang ada hampir sama antara korban 2 dengan yang lain dan itu saya kira membuktikan bahwa mereka terorganisir," sambungnya. https://bit.ly/2O7BOfj

Terkait uji forensik yang dilakukan polisi terhadap korban, Beka Ulung mengaku Komnas HAM dilibatkan juga. "Iya kami diminta untuk menyaksikan prosesnya segala macam," katanya.

Ini Kesimpulan Komnas HAM di Peristiwa 22 Mei, Soroti Kekerasan oleh Polisi

 Komnas HAM menemukan adanya kekerasan yang dilakukan oknum kepolisian saat aksi demonstrasi yang berlangsung pada 21-23 Mei 2019. Selain itu, berbagai temuan dipaparkan oleh Komnas HAM melalui Tim Pencari Fakta (TPF).

"Kekerasan yang terjadi dalam peristiwa 21-23 Mei 2019 adalah kelanjutan dari sikap yang menolak hasil pilpres yang telah diumumkan oleh KPU RI," ujar Wakil Ketua TPF Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam konferensi pers di Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).

Peristiwa 21-23 Mei 2019 bermula dari aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang berujung ricuh. TPF Komnas HAM disebut Beka telah bertemu dengan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Polri yang dipimpin Komjen Moechgiyarto pada 11 dan 17 Juni 2019. Informasi dari TGPF Polri, Beka menyebut ada 10 orang tewas dari peristiwa tersebut di Jakarta dan Pontianak.

Beka menyebut 8 orang terluka tembak dan 1 orang terluka di kepala dari hantaman benda tumpul di Jakarta. Sedangkan seorang lagi di Pontianak mengalami luka tembak.

"Empat dari 10 orang yang meninggal dunia adalah anak-anak sehingga patut diduga ada upaya menjadikan anak-anak sebagai korban dan sasaran kekerasan untuk memancing emosi massa," kata Beka.

Beka pun meminta polisi untuk segera menemukan siapa pelaku yang telah menewaskan 10 orang itu. Setelahnya para pelaku itu harus diproses hukum. https://bit.ly/2O55ERC