Rabu, 20 November 2019

Kata Mahfud MD Soal Menhan Prabowo yang Pernah Dilarang Masuk AS

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menjawab pertanyaan soal Menhan Prabowo Subianto yang pernah dilarang ditolak masuk ke wilayah Amerika Serikan (AS). Apa kata Mahfud?

"Apa ada larangan itu? Saya tidak tahu apa itu betul-betul ada, apa tidak," kata Mahfud kepada wartawan di Kantor Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Jalan Cik Ditiro No 1 Kota Yogyakarta, Senin (28/10/2019).

Sementara itu, Mahfud juga belum berencana membahas isu tersebut. Meskipun Menhan merupakan salah satu jabatan menteri yang berada di bawah koordinasinya.

"Kita belum membahas itu (isu Prabowo yang pernah dilarang masuk ke AS), dan saya belum berpikir tentang itu," tutur Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta tersebut.

Seperti diketahui, Prabowo pernah dilarang masuk ke Amerika Serikat tahun 2000 lalu. Peristiwa itu terjadi saat Prabowo hendak menghadiri upacara kelulusan putranya di salah satu universitas di Boston, AS.

Mahfud Md: Opsi Perppu KPK Masih Dibahas

Menko Polhukam Mahfud Md angkat bicara terkait opsi Perppu KPK yang disuarakan kalangan penentang UU KPK hasil revisi. Kini pemerintah sedang menimbang-nimbang.

"Ya ditunggu saja," kata Mahfud menjawab pertanyaan wartawan terkait nasib Perppu KPK, di kantor Yayasan Badan Wakaf UII Yogyakarta, Senin (28/10/2019).

Mahfud mengatakan, kini berbagai pendapat terkait UU KPK hasil revisi telah diterima pemerintah. Baik itu pendapat yang mendesak maupun yang menentang Perppu KPK.

"Kan sudah masuk semua, yang mengusulkan Perppu (KPK) sudah masuk, yang menolak sudah masuk," paparnya.

Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta itu menyebut kini masih ada waktu bagi pemerintah. Ia berjanji akan membahas lebih lanjut akankah pemerintah akan mengeluarkan Perppu KPK atau tidak.

"Ini kan masih ada waktu. Kita akan terus membahasnya (opsi Perppu KPK)," pungkas eks Ketua Mahkamah Konstitusi itu. https://bit.ly/340i6Yu

ICW Minta Mahfud Md Tak Lupa Dorong Perppu KPK

Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Menko Polhukam Mahfud Md tak lupa mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu terkait UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Menurut ICW, Mahfud selama ini dikenal sebagai figur yang responsif soal isu pemberantasan korupsi.

"Kondisi hari ini yang mana UU KPK telah direvisi dengan muatan yang sangat melemahkan institusi tersebut harusnya dijadikan isu utama bagi Prof Mahfud Md selaku Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk segera mendorong Presiden agar menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Sabtu (26/10/2019).

Dia kemudian menyinggung ucapan Mahfud dalam salah satu acara soal opsi yang paling memungkinkan untuk menyelamatkan KPK adalah lewat Perppu. Menurutnya, publik berharap ada peran besar dari Mahfud agar Perppu KPK bisa diterbitkan.

"Tidak salah rasanya publik berharap adanya andil besar dari Prof Mahfud untuk turut serta dalam agenda menyelamatkan KPK dari pelemahan legislasi seperti ini," ucapnya.

Kurnia menilai komitmen antikorupsi Mahfud sedang diuji. Mahfud diminta tak mengulangi kekeliruan berpikir Menko Polhukam sebelumnya, Wiranto, yang menganggap revisi UU KPK merupakan bentuk penguatan.

"Ini juga sekaligus menjadi uji pembuktian komitmen antikorupsi dari yang bersangkutan. Prof Mahfud tentu tidak boleh lagi mengulangi kekeliruan berpikir dari Menko Polhukam sebelumnya yang mana menganggap bahwa revisi UU KPK kali ini merupakan sebuah penguatan yang diinisiasi oleh Pemerintah dan DPR," ujar Kurnia.

Mahfud sebelumnya merupakan salah satu tokoh yang bertemu Presiden Jokowi di Istana pada Kamis (26/9) untuk membahas isu-isu yang berkembang saat itu, termasuk polemik UU KPK baru. Usai pertemuan, Jokowi mengatakan mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK. https://bit.ly/32ZdgJD

Mahfud MD Bantah Larang Penggunaan Kata Kafir di Masjid

Menko Polhukam, Mahfud MD, membantah disebut dirinya melarang penggunaan kata kafir di dalam masjid. Mahfud menegaskan berita yang tersebar di media sosial itu hoaks, pelintiran orang yang tak bertanggungjawab.

"Ada orang iseng di medsos mengatakan Menko Polhukam melarang berkata kafir di masjid. Itu berita pelintiran bohong," kata Mahfud kepada wartawan di Kantor Yayasan Badan Wakaf UII Yogyakarta, Senin (28/10/2019).

Mahfud mengatakan tidak mungkin dirinya melarang umat muslim melafalkan kata kafir di dalam masjid. Padahal ia setiap hari mengaji surah Al Kahfi dan surah Al Waqiah yang di dalamnya tertera kata-kata kafir.

"Mahfud itu setiap hari mengaji surah Al Kahfi, mengaji membaca surat Al Waqiah yang kata-kata kafirnya itu lebih dari 10. Sehingga lebih dari 10 kali saya mengatakan kata kafir," tuturnya. https://bit.ly/2quhewO

Ia pun meluluskan narasi di medsos yang disebutnya keliru itu. Menurutnya, ia hanya berujar sekaligus meminta para penceramah membawakan materi khotbah yang menyejukan, bukan yang mengkafirkan orang.

"Jangan suka mengkafirkan orang yang berbeda pendapat. Sekarang ini kan banyak orang mengkafirkan orang karena beda pendapat," papar Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta tersebut.

"Katanya kalau tidak pakai cadar itu kafir, tidak ikut nabi. Kalau punya patung Garuda Pancasila itu seperti orang jahiliyah, itu kafir. Nah, begitu itu nggak boleh, itu namanya kaum takfiri," sambungnya.

Mahfud menegaskan dirinya tidak pernah melarang pelafalan kata kafir di dalam masjid. "Jadi saya tidak melarang kata kafir, (rapi) melarang mengkafirkan orang yang berbeda mazhab," pungkas eks Ketua MK itu.

Mahfud MD: Kita Bertekad Selesaikan Kasus HAM pada Periode Ini

Menko Polhukam, Mahfud MD, bertekad menyelesaikan kasus HAM di Indonesia yang belum terselesaikan, agar status hukum kasus dugaan pelanggaran HAM terdahulu tak menggantung.

"Kita semua bertekad untuk menyelesaikan pada periode ini dengan jelas, tidak mengantung-gantung lagi, kalau iya-iya, kalau tidak-tidak. Karena ini (kasus HAM) sudah lama," kata Mahfud di UII, Senin (28/10/2019).

Menurutnya, pemerintah pada periode ini akan mencoba membahas sekaligus menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Termasuk kasus di Papua dan dalam tragedi 1965 silam.

"Tapi kalau mau dikaitkan dengan HAM masa lalu memang tidak mudah (diselesaikan), karena pertama pelakunya sudah selesai semua," tutur Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta itu. https://bit.ly/2rcuE0A