Rabu, 20 November 2019

Parampara Praja, Lembaga yang Dipimpin Mahfud Md Sebelum Jadi Menko Polhukam

Sebelum ditunjuk menjadi Menko Polhukam, Prof Mahfud Md diketahui pernah menduduki sejumlah jabatan publik, salah satunya Ketua Parampara Praja Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) periode 2016-2021. Lembaga apakah itu?

Penjabat Sekretaris Daerah DIY Arofa Noor Indriani menjelaskan Parampara Praja DIY merupakan lembaga nonstruktural yang bertugas memberikan pertimbangan dan saran kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X.

"Ini kan lembaga nonstruktural (yang bertugas) sebagai penasihat (kepada Gubernur DIY)," ujar Arofa saat ditemui detikcom di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Selasa (29/10/2019).

Arofa menerangkan Parampara Praja DIY adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang kemudian diturunkan dalam Perdais No 3 Tahun 2015 Bab 1 Pasal 1 tentang Kelembagaan.

Parampara Praja DIY beranggotakan delapan orang. Mereka adalah Prof Mahfud Md yang mengurusi bidang hukum, Prof Soetaryo di bidang kesehatan, Prof AM Hermin Kusmayati di bidang kebudayaan, dan Prof Edy Suandi Hamid bidang ekonomi.

"Bidang pertanahan itu Prof Suyitno, kemudian wakil dari Keraton (Ngayogyakarta Hadiningrat) Bu Gusti Mangkubumi, kemudian satunya Kanjeng Wijoyo yang dari Pura (Pakualaman). Satunya Prof Amin dari keagamaan," ungkapnya. https://bit.ly/2CYspjX

Terkait nonaktifnya Mahfud di Parampara Praja DIY, kata Arofa, hal itu tidak menjadi masalah bagi lembaga ini.

"Kami ada delapan (anggota Parampara Praja DIY), delapan itu kalau satu nonaktif mungkin ya nggak apa-apa, tugas keseharianya (dialihkan) ke Prof Soetaryo," jelasnya.

Sebagai informasi, kedelapan anggota Parampara Praja DIY periode 2016-2021 dilantik pada 30 Agustus 2016. Karena lembaga ini adalah amanat UU Keistimewaan DIY dan Perdais, gaji para anggotanya pun diambil dari Dana Keistimewaan.

"(Anggarannya dari) keistimewaan, karena ini (Parampara Praja DIY berkaitan dengan) keistimewaan. Jadi semua (anggota) yang ada (diangkat) dengan SK Bapak Gubernur, pendanannya bukan APBD, tapi dari Dana Keistimewaan," tutur Arofa.

Ini Alasan Mahfud Md Hanya Nonaktif di Dewan Parampara Praja DIY

Menko Polhukam, Mahfud Md, hanya mengajukan permohonan nonaktif dari keanggotaan Parampara Praja DIY periode 2016-2021. Apa alasan Mahfud tak mengundurkan diri dari jabatan itu?

"Pokoknya (saya) tidak bisa ke sini seperti biasanya, gitu aja, nonaktif namanya. Kalau tidak nonaktif kan ada jadwalnya datang, misalnya setiap Hari Jumat dulu ada rapat," kata Mahfud di Kepatihan, Senin (28/10/2019).

"Nah, sekarang sudah tidak bisa lagi, kan tinggal 1,5 tahun lah kira-kira (jabatan di Parampara Praja DIY) resminya, sehingga tidak perlu terlalu dramatis," sambung Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta itu.

Meski hanya mengajukan nonaktif di Parampara Praja DIY, namun Mahfud menegaskan langkahnya ini tak melanggar regulasi. Terlebih kini sudah tak ada lagi kewajiban di Parampara Praja DIY yang harus dikerjakannya.

"Kalau nonaktif kan tidak mengganggu (kerja-kerja di Menko Polhukam) juga. Tidak terlalu penting istilah itu, karena secara yuridis memang tidak ada penyebutan yang resmi harus apa untuk jabatan ini," sebutnya.

Jika Mahfud hanya berstatus nonaktif dari Parampara Praja DIY, maka lain hal dengan jabatannya di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Setelah menjadi menteri, kini Mahfud tak lagi bertugas di BPIP.

"Oh Itu (keanggotaan di BPIP) sudah dengan sendirinya menurut undang-undang, begitu menjadi pejabat itu (Menko Polhukam) ya langsung (dinyatakan mengundurkan diri dari BPIP)," pungkas Mahfud.

Diberitakan sebelumnya, hari ini Mahfud menghadap Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X di Kepatihan Yogyakarta. Kedatangannya untuk mengajukan permohonan nonaktif dari Parampara Praja DIY.

Sebelum menjabat Menko Polhukam, Mahfud Md diketahui menjadi Ketua Parampara Praja DIY periode 2016-2021. Parampara Praja ialah lembaga nonstruktural yang bertugas memberikan pertimbangan untuk Gubernur DIY. https://bit.ly/2KCytmw

Bertubi-tubi Keistimewaan Yogya Digoyang, Dari Pilgub hingga Keturunan China

Yogyakarta berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Yogyakarta pula 'negara' pertama yang mendukung kemerdekaan negara Indonesia. Oleh sebab itu, Yogyakarta memiliki hak istimewa di bawah payung NKRI. Belakangan, keistimewaan ini digoyang. Tak cuma sekali, tapi bertubi-tubi.

Berdasarkan putusan pengadilan/Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikutip detikcom, Rabu (20/11/2019), Kesultanan Yogyakarta sudah eksis lewat Kerajaan Mataram dengan Raja yang terkenal yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo yang bertakhta tahun 1613 sampai 1645 .

Pada 13 Maret 1755, terjadi Perjanjian Giyanti yang melahirkan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian ini yang menjadi cikal bakal Yogyakarta hingga hari ini.

Raja Pertama yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I yang bertakhta pada tahun 1755 sampai tahun 1792. Hingga hari ini, tercatat 10 Raja Yogyakarta yang memegang takhta kerajaan.

Dalam proses kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, 'negara' Kesultanan Yogyakarta yang pertama kali mengakui Indonesia pada 18 Agustus 1945. Sehingga bukan Indonesia yang memberikan kemerdekaan kepada Kesultanan Yogyakarta.

"Sultan yang bertakhta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam yang bertakhta di Kadipaten Pakualaman bukan 'pemberian' atau dibentuk oleh Negara (in casu Negara Kesatuan Republik Indonesia)," ujar MK

Pada 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengelurkan amanat: https://bit.ly/2D0seEJ

PERTAMA : Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI.
KEDUA : Segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengku Buwono IX.
KETIGA : Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung-jawab langsung kepada Presiden RI.

Dalam perang mempertahankan Proklamasi, Kesultanan Yogyakarta berjuang total membantu Republik Indonesia. Sultan HB IX menyumbang berkilo-kilo gram emas dengan nilai jutaan golden untuk pemerintah Indonesia.

"Ah, nggak mungkin ingat, ngambilnya saja begini (sambil menirukan gerakan orang yang mengambil dengan dua telapak tangan, seperti menyendok pasir dengan tangan)," kata Sri Sultan.

Kerajaan Yogyakarta juga memberikan segala fasilitas kepada pemerintah Indonesia yang baru berdiri, seperti Gedung Negara yang dijadikan menjadi pusat pemerintahan Indonesia kala itu.

Sri Sultan dan rakyat Yogyakarta selaku 'tuan rumah' memberikan seluruh akses dan fasilitas serta sumber daya kepada pemerintah RI untuk berjuang melawan Belanda.

Bahkan, Kerajaan Yogyakarta lah yang menggaji pertama kali para pejabat Pemerintah Indonesia.

Atas dasar sejarah panjang itu, akhirnya Republik Indonesia memberikan status istimewa ke Yogyakarta. Salah satunya dengan lahirnya UU UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY). Pasal 7 UU itu selengkapnya berbunyi:

Lingkup kewenangan yang termasuk ke dalam urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada angka 3 di atas, yaitu meliputi:

a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. kelembagaan pemerintahan daerah DIY;
c. kebudayaan;
d. pertanahan; dan
e. tata ruang.

Belakangan, keistimewaan ini digugat. Tidak hanya sekali, tapi bertubi-tubi. Seperti pada 2016 saat seorang advokat, M Sholeh menggugat sistem pemilihan Gubernur DIY. M Sholeh meminta pemilihan Gubernur DIY dilakukan lewat Pilkada. M Sholeh menolak aturan Sultan Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur DIY.

"Sebagai warga negara Indonesia berhak dicalonkan menjadi gubernur maupun wakil gubernur manapun, sebagai jabatan gubernur/wakil gubernur adalah jabatan publik yang boleh dijabat oleh setiap warga negara asal dia memenuhi syarat umum yang ditentukan oleh UU. Misalnya saat tahun 2012 Jokowi yang ber-KTP Solo mencalonkan diri menjadi gubernur Jakarta," ujar M Sholeh. https://bit.ly/2QyfYmP