Minggu, 29 Juni 2014

Berapa Kecepatan Internet di Indonesia?

Berapa kecepatan koneksi internet broadband yang dinikmati penduduk Indonesia? Angkanya bisa dilacak di laporan terbaru dari Akamai State of the Internet Report, analisis koneksi internet berbagai negara menurut riset perusahaan teknologi Akamai.

Dalam peta koneksi interaktif Akamai, kecepatan internet rata-rata di Indonesia pada kuartal 1 2014 mencapai 2,37 Mbps. Dibandingkan dengan Korea Selatan atau Jepang yang menduduki posisi pertama dan kedua memang masih terpaut sangat jauh.

Tapi di wilayah Asia Tenggara masih terhitung lumayan. Dengan kecepatan koneksi 2,37 Mbps, Indonesia mengungguli Filipina (2,07 Mbps), Laos (1,5 Mbps), Vietnam (1,95 Mbps), Myanmar (2,03 Mbps), ataupun Kamboja (2,13 Mbps).

Negara Asia Tenggara yang mengungguli Indonesia misalnya Malaysia (3,52 Mbps), dan Thailand (5,14 Mbps). Akamai sendiri menyatakan pertumbuhan kecepatan internet dunia memang menunjukkan tren bagus alias terus meningkat dari tahun ke tahun.

"Meski masih ada yang harus ditingkatkan di beberapa negara, tren yang kami lihat tetap sangat positif," kata David Belson, editor Akamai yang dikutip detikINET dari PCMag, Jumat (27/6/2014).



Ini Negara dengan Internet Tercepat di Dunia


Koneksi internet rata-rata dunia semakin cepat. Hal itu terungkap dalam penelitian terbaru dari perusahaan teknologi Akamai yang menganalisis kecepatan internet di tiap negara. Lalu, negara mana yang koneksinya palingngebut?

Menurut Akamai, pada kuartal I 2014, rata rata koneksi internet di dunia adalah 3,9 Mbps, naik 1,8% dari tahun sebelumnya. Bahkan Akamai memperkirakan pada kuartal depan, kecepatannya akan tembus 4 Mbps.

"Meski masih ada yang harus ditingkatkan di beberapa negara, tren yang kami lihat tetaplah sangat positif," kata David Belson, editor Akamai yang dikutipdetikINET dari PCMag, Jumat (27/6/2014).

Berada di posisi pertama negara dengan koneksi internet broadband tercepat adalah Korea Selatan, dengan kecepatan rata-rata 23,6 Mbps. Negeri Ginseng ini memang menjadi langganan soal internet paling ngebut.

Menguntit di posisi kedua adalah Jepang dengan koneksi rata-rata 14,6 Mbps. Diikuti berturut turut di posisi 10 besar oleh Hong Kong, Swiss, Belanda, Latvia, Swedia, Republik Ceko, Finlandia dan Irlandia.

Perkembangan positif kecepatan internet ini akan memungkinkan layanan baru seperti konten masa depan dan video 4K diimplementasikan. "Pertumbuhan dari tahun ke tahun mengindikasikan fondasi global yang kuat sedang dibangun untuk menikmati konten masa depan dan layanan seperti video 4K," tambah Belson.



Internet Indonesia Masuki Era Zettabyte


Dengan jumlah pengguna internet yang masih akan terus tumbuh, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia diprediksi akan masuk era Zettabyte. Saat di mana lalu lintas data sudah padat.

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama Badan Pusat Statistik (BPS), hingga akhir 2013 lalu pengguna internet di Indonesia ditaksir mencapai 71,19 juta orang. Naik 13% dibanding tahun sebelumnya.

Ke depannya angka itu masih terus tumbuh. Perkiraan Cisco, pada 2018 nanti Indonesia akan memiliki 164 juta pengguna internet dengan 80% di antaranya adalah mobile. Tak heran konsumsi data akan semakin membengkak di masa yang akan datang.

"Indonesia telah bertumbuh dengan pesat dalam hal penetrasi dan konektifitas internet. Pertumbuhan yang akan terus berlangsung ini tercermin dalam laporan Cisco VNI yang terbaru ini," kata Ichwan F Agus, Interim Country Manager Cisco Indonesia.

Cisco memang baru saja mengumumkan Visual Networking Index (VNI), laporan tahunan Global Forecast and Service Adoption for 2013 hingga 2018 yang memproyeksikan bahwa lalu lintas Internet Protocol (IP) global akan meningkat nyaris tiga kali lipat dalam lima tahun ke depan.

Pertumbuhan ini didorong oleh meningkatnya jumlah pengguna dan perangkat internet, kecepatan broadband yang lebih cepat dan semakin banyaknya video online yang ditonton, dengan volume lalu lintas yang diperkirakan mencapai 1,6 zettabyte per tahun pada tahun 2018.

"Kita telah memasuki ‘Era Zettabye’ dan menyaksikan inovasi dan pergesaran yang luar biasa di industry IT, terwujudnya Internet of Everything (IoE)," tambah Ichwan, dalam keterangan yang diterima detikINET, Rabu (18/6/2014).

Selain itu laporan Cisco juga menyingung soal kecepatan internet Indonesia yang dipercaya akan meningkat. Rata-rata kecepatan broadband jaringan fixed akan bertumbuh 3,2 kali lipat dari tahun 2013 ke 2018, dari 2,6 Mbps ke 8 Mbps.

Di situ juga tertulis Indonesia akan menjadi negara dengan pertumbuhan lalu lintas IP tercepat kedua di dunia dengan laju pertumbuhan gabungan (CAGR) sebesar 37%, di bawah India dengan laju CAGR sebesar 39%.




Sumber : http://inet.detik.com/read/2014/06/27/161650/2621479/398/berapa-kecepatan-internet-di-indonesia?i992202105

Sabtu, 28 Juni 2014

Di Balik Akuisisi XL Atas Axis

"Kami sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip dari Kemenkominfo yang mendukung XL mengakuisisi Axis". Demikian pernyataan Presiden Direktur XL, Hasnul Suhaimi kepada media (26/7/2013).

Rencana XL Axiata mengakuisisi Axis menjadi berita hangat bulan ini. Banyak pihak ikut bicara, baik yang mendukung maupun mempertanyakan. Apa kiranya agenda Axiata Group Berhad, perusahaan telekomunikasi asal Malaysia yang menguasai XL, dengan aksi korporasi ini? Bagaimana industri telko nasional menyikapinya?

Menebak Agenda XL

LTE dipastikan bakal menjadi milestone penting bagi operator. Siapapun yang menuai sukses LTE, punya kemungkinan besar merajai industri telko. Karenanya, operator perlu menyiapkan beberapa kunci sukses, meliputi antara lain kecepatan waktu, penguasaan frekuensi, investasi dan basis pelanggan.

Aksi akuisisi XL, anak usaha pemberi kontribusi terbesar atas kinerja Axiata Group, terhadap Axis menjadi jalan pintas untuk melengkapi kunci sukses tersebut. Sebagaimana penjelasan berikut.

Baru tiga tahun sejak pertama diluncurkan, pelanggan LTE global telah melewati 100 juta. Pertumbuhan pelanggan global yang sangat cepat ini dipastikan akan terjadi juga di Indonesia. Karenanya, waktu menjadi penentu sukses LTE di masa depan.

Mengingat saat ini Indonesia sedang krisis frekuensi, penguasaan sejak dini tentu akan mempercepat implementasi LTE. Jika XL telah menguasai frekuensi yang layak, bisa jadi tidak perlu menunggu tender LTE oleh pemerintah. Kecuali jika LTE di alokasikan pada frekuensi lain seperti 700 MHz.


Bulan Maret lalu Kementerian Kominfo menetapkan pemenang tender 3G, yaitu Telkomsel dan XL. Dengan kemenangan tersebut, Telkomsel dan XL bakal menguasai tiga blok, sedangkan tiga operator lainnya hanya menempati dua blok. Sementara Indosat, meski hanya punya dua blok di 2,1 GHz, namun berencana memanfaatkan frekuensi 900 MHz untuk ekspansi 3G.

Saat ini Axis, perusahaan bernilai USD 1 miliar yang sahamnya dimiliki oleh Saudi Telecom Company (STC) dan Maxis Communications Berhad, mengendalikan dua blok 3G, yaitu di blok 2 dan 3 yang akan segera di migrasikan ke blok 11 dan 12.

Sedangkan XL, paska pemenangan tender 3G, akan menguasai tiga blok, yaitu 8, 9 dan 10. Jika setelah akuisisi XL mengambil semua blok milik Axis, maka XL bakal mengendalikan lima blok yang berurutan, yaitu 8 sampai 12, atau setara dengan rentang pita 25 MHz. Lebar pita tersebut cukup untuk menggelar LTE yang membutuhkan 20 MHz.

Investasi LTE sangat besar, berbeda dengan investasi 3G atau HSPA. Salah satunya karena teknologi LTE tidak kompatibel terhadap 3G. Di saat investasi itulah, basis pelanggan menjadi sangat krusial. Semakin banyak jumlah pelanggan, pengembalian investasi tentu semakin mudah.

Sejak Hasnul Suhaimi berstatus sebagai Presiden Direktur, XL terlihat ambisius ingin menggeser posisi Indosat di nomor dua. Tapi sejauh ini mimpi tersebut tidak kunjung datang.

Akuisisi Axis secara otomatis akan menambah jumlah pelanggan XL dari semula 49,1 juta menjadi 66,1 juta. Angka tersebut menempatkan XL di posisi kedua, berdiri di depan Indosat yang memiliki pelanggan 55,9 juta pada akhir triwulan pertama tahun 2013.


Konsolidasi Industri Telekomunikasi

Nilai ekonomi industri telko per tahun berkisar Rp 160 triliun, meliputi Rp 130 triliun pendapatan operator dan sisanya gadget. Dari total pendapatan operator, sekitar 90% diraup tiga besar, yaitu Telkom Group, Indosat dan XL. Pendapatan operator lainnya hanya berkontribusi sekitar sepuluh persen.

Munculnya banyak operator yang berebut angka sepuluh persen telah membuat peta kompetisi telko nasional menjadi tidak sehat, bahkan tidak masuk akal. Banyak pihak termasuk operator, pemerintah maupun DPR telah sadar kondisi ini dan mengharapkan terjadinya konsolidasi. Namun sayang, sejauh ini kondolidasi baru terjadi antara Smart dan Fren. Rencana merger Flexi – Esia beberapa tahun lalu batal.

Dengan mempertimbangkan fakta saat ini, jumlah operator ideal adalah lima. Empat operator bermain dengan teknologi GSM dan satu pemain menggunakan CDMA. Dengan demikian, selain tiga besar di atas, hanya ada satu operator GSM dan satu CDMA.

Konsolidasi diyakini berdampak positif terhadap industri telko, paling tidak karena tiga hal berikut. Pertama, alokasi dan pemanfaatan pita frekuensi semakin optimal. Seperti diketahui, saat ini ada operator yang nyaris kehabisan pita frekuensi namun beberapa operator lainnya justru berlebih. Dampaknya, Indonesia kesulitan adopsi LTE akibat krisis pita frekuensi.

Kedua, profitabilitas operator semakin baik. Hal ini diperlukan untuk kesinambungan industri dan adopsi teknologi terbaru. Tentu kita berharap, ke depan tidak ada lagi operator yang menanggung rugi seperti tahun 2012 lalu, di mana ada operator yang mencatat EBITDA Margin 50% (plus), namun ada pula yang -50% (minus).

Ketiga, jaminan kualitas pelayanan. Kompetisi keras telah terbukti menurunkan tarif secara fantastis, sehingga menguntungkan pelanggan. Namun demikian, kondisi ini juga telah mendorong berbagai kecurangan dan penurunan kualitas pelayanan kepada pelanggan.

SMS 'gratis sepuasnya' memang menguntungkan sebagian pelanggan, namun telah menimbulkan spam dan gangguan bagi penerima. Telepon 'gratis' memang menguntungkan sebagian pelanggan, namun juga menjebak sebagian lain yang tidak terlalu cermat. Dan masih banyak lagi yang sejenis


Belajar dari Wacana Flexi-Esia

Setiap aksi korporasi selalu punya tujuan strategis. Begitu juga XL, tentu punya agenda khusus untuk keuntungan perusahaan. Dari penjelasan di atas, selain aspek finansial, paling tidak XL mendapat keuntungan berupa posisi kedua di atas Indosat dan penguasaan pita frekuensi. Keduanya menjadi landasan kokoh untuk investasi LTE guna melenggang pada kompetisi telko masa mendatang.

Terlepas apapun target XL, akuisisi terhadap Axis akan berdampak positif terhadap industri telko nasional. Karenanya, semua pihak, seperti Kominfo, BRTI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), semestinya mendukung aksi tersebut.

Kita perlu belajar dari rencana merger Flexi-Esia yang batal tahun 2011 lalu. Yang mana pada waktu itu banyak pihak menentang, bahkan terkesan mengancam. Akhirnya, rencana yang seharusnya sangat positif bagi industri telko nasional dan bisnis kedua operator, justru batal terjadi. Dampaknya, saat ini kita menyaksikan, Flexi dan Esia tidak bertumbuh bahkan menuju masa depan yang lebih mengkawatirkan.

Akhirnya, kita berharap semoga semua pihak mendukung rencana akuisisi XL terhadap Axis, sehingga aksi tersebut bisa segera terwujud. Dan selanjutnya, diharapkan muncul merger-akusisi lain, sampai jumlah operator telko mendekati ideal. Semuanya demi masa depan industri telko nasional yang lebih baik.




Tentang Penulis: Muhammad Yusuf merupakan praktisi dan pemerhati telekomunikasi, dapat dihubungi di myusuf298@gmail.com atau www.myusuf298.com.

Sumber : http://inet.detik.com/read/2013/07/30/104353/2318498/398/4/di-balik-akuisisi-xl-atas-axis