Pemerintah RI menargetkan program vaksinasi COVID-19 bisa dilaksanakan pada awal November 2020 ini. Namun, hingga saat ini belum ada keputusan final yang telah diambil.
Hal tersebut dikatakan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Menko PMK RI), Muhadjir Effendy di tengah peresmian Gedung Radioterapi, Kemoterapi dan Isolasi terpadu di RS PKU Muhammadiyah Gombong, Kebumen, Jawa Tengah pada Selasa (3/11/2020).
Saat ini pemerintah sedang mengumpulkan informasi termasuk ketersediaan vaksin dari berbagai sumber.
"Sekarang sedang terus dilakukan, begini, jadi terus mengumpulkan informasi-informasi termasuk juga ketersediaan vaksin dari berbagai sumber kemudian dievaluasi. Sampai sekarang kita belum ada keputusan final," kata Muhajir ketika ditemui detikcom di sela kunjungan kerjanya tersebut.
Pihaknya menambahkan, jika langkah vaksinasi memang harus diambil dengan cepat tapi tidak boleh asal-asalan. Menurutnya, vaksinasi juga tidak serta merta menghentikan pandemi COVID-19.
"Jadi karena Presiden sudah menyampaikan ini harus cepat tapi tidak boleh grusah grusuh. Walau sudah ada vaksin nantinya, tapi belum tentu langsung bisa tertangani (COVID-19)," imbuhnya.
Masyarakat pun diimbau untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dengan menerapkan 4M yakni Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak dan Menghindari Kerumunan.
https://cinemamovie28.com/creepy/
17 Relawan Uji Vaksin COVID-19 Sinovac di Bandung 'Drop Out', Ini Alasannya
Pelaksanaan uji klinis vaksin Corona dari Sinovac di Indonesia masih berlangsung. Uji klinis yang melibatkan 1.620 warga Indonesia ini menurut peneliti berjalan dengan baik dan diprediksi selesai sekitar bulan Maret 2021.
"Proses uji klinis selama ini sementara waktu itu cukup baik. Kami sudah melakukan 1.620 yang disuntikkan pertama kemudian 1.650 suntikkan ke dua. Sampai sekarang tidak ada yang mengkhawatirkan," ujar Ketua Tim Uji Klinis Vaksin COVID-19 Kusnandi Rusmil dalam komferensi pers yang disiarkan Kemkominfo pada Selasa (3/11/2020).
Kusnandi mengatakan ada 17 relawan yang berhenti atau drop out dari penelitian. Namun, ia memastikan para relawan berhenti bukan karena efek samping serius dari vaksin COVID-19.
"Memang karena mereka pindah bekerja, ada penyakit lain. Umpamanya tipes sehingga dia tidak bisa melakukan imunisasi kedua sehingga dia drop out," ungkap Kusnandi.
"Sekarang ini yang drop out ada 17 orang. Tujuh karena pindah kerja, yang delapannya karena sakit yang bukan disebabkan oleh imunisasi," pungkasnya.
Studi Baru Jelaskan Mutasi yang Bikin COVID-19 Lebih Menular
Sebuah studi baru memperingatkan virus Corona telah bermutasi, salah satunya mungkin membuatnya lebih menular. Para peneliti di University of Texas, Austin telah menganalisis lebih dari 5.000 pasien COVID-19 untuk memahami bagaimana virus Corona ini bermutasi.
Hasilnya, mereka mengidentifikasi adanya satu mutasi yang tampaknya membuat virus semakin menular, yaitu D614G.
"Virus ini bermutasi karena kombinasi pergeseran netral (perubahan genetik acak yang tidak membantu atau melukai virus) dan tekanan dari sistem kekebalan kita," jelas rekan penulis studi, Dr Ilya Finkelstein, yang dikutip dari Mirror UK, Selasa (3/11/2020).
Dari analisis para peneliti, mengungkapkan bahwa selama gelombang awal pandemi sebanyak 71 persen pasien COVID-19 terinfeksi mutasi D614G. Dr Finkelstein mengatakan mutasi virus ini telah menyebar ke seluruh dunia.
"Virus terus bermutasi saat menyebar ke seluruh dunia. Upaya pengawasan seperti penelitian kami akan memastikan bahwa vaksin dan terapi global selalu selangkah lebih maju," ungkapnya.
Secara total, para peneliti telah mengidentifikasi 285 mutasi, meskipun sebagian besar tampaknya tidak memiliki efek signifikan pada tingkat keparahan penyakit. Tetapi, peneliti mencatat bahwa setiap infeksi baru membuat peluang tambahan untuk mengembangkan mutasi yang lebih berbahaya.