Kamis, 30 Juli 2020

Studi Klaim Orang Berbadan Tinggi Bisa Lebih Berisiko Tertular Corona

Para peneliti dari Inggris, Norwegia, dan Amerika Serikat (AS) melihat ada peningkatan risiko penularan Corona pada orang dengan tinggi tubuh di atas rata-rata. Hal ini disebut berkaitan dengan potensi penularan dari jalur udara alias airborne.
Lewat survei pada 2.000 orang, peneliti melihat berbagai faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi risiko penularan COVID-19. Responden ditanya mengenai berbagai macam hal mulai dari status pekerjaan, pendapatan, hingga pola bepergiannya.

Hasilnya diketahui pria dan wanita dengan tinggi badan di atas 182 cm bisa lebih dari dua kali lipat berisiko tertular Corona bila dibandingkan orang di bawah tinggi tersebut.

Studi tidak menjelaskan bagaimana tinggi badan bisa jadi faktor risiko. Namun, peneliti berhipotesis kemungkinan karena orang dengan tubuh yang tinggi lebih rentan terpapar partikel aerosol.

"Bila droplet yang jatuh ke tanah lebih signifikan, orang-orang yang tinggi mungkin bisa dianggap tidak begitu berisiko terpapar," tulis peneliti yang studinya belum menjalani peer review, seperti dikutip dari Daily Mail pada Rabu (29/7/2020).

Tak Cuma China, Turki Juga Tawarkan Uji Klinis Vaksin Corona ke Indonesia

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengungkap, saat ini Indonesia mendapatkan tawaran kerjasama dengan Turki terkait vaksin Corona COVID-19.
"Kemarin kami vicon (video conference) dengan Menteri Turki, Turki kebetulan luar biasa. Mereka mengembangkan vaksin COVID-19 dengan semua platform yang ada, adenovirus, inactivated virus, DNA, mRNA dan protein rekombinan. Saya ajak Dirut Biofarma, harapannya Biofarma juga menjajaki, karena Turki mengajak kerjasama untuk dua hal," ujar Bambang di Kampus LIPI Bandung, Rabu (29/7/2020).

Bambang melanjutkan, Turki menawarkan kerjasama dalam uji klinis vaksin yang dibuat negara mereka atau ikut melakukan riset dan pengembangan (RnD) dengan Lembaga Eijkman.

"Jadi intinya tidak mungkin satu negara bergantung pada satu negara untuk upaya mendapatkan vaksin," katanya.

Menurut Bambang, upaya pencarian vaksin tak dilakukan secara sekuensial. Saat ini pun Indonesia akan melakukan uji klinis vaksin Sinovac dari China, sekaligus mengembangkan vaksin buatan negeri, Vaksin Merah Putih.

"Vaksin itu bukan tidak berhasil lalu coba yang lain, dimana pun di dunia. Upaya mencari vaksin tidak hanya satu pengembang, karena tidak ada jaminan vaksin efektif untuk kelompok masyarakat atau wilayah tertentu, jadi seperti yang dilakukan di banyak negara, tidak hanya di Indonesia. Pencarian vaksin harus dilakukan secara paralel dan multitrek," ujarnya.

Dalam kunjungannya ke Kota Bandung, Bambang juga mengecek kesiapan Biofarma dalam memproduksi Vaksin Merah Putih. Seperti diketahui vaksin tersebut dibuat dengan platform protein rekombinan S dan N.

"Kita harapkan tahun depan bisa diproduksi dalam jumlah besar, karena pabrik vaksin di Indonesia yang paling utama adalah Biofarma. Kami ingin memastikan dua hal, komitmen Biofarma dalam memproduksi Vaksin COVID-19 Merah Putih, kedua adalah kesiapan dari segi teknologi karena yang sekarang dari China menggunakan platform virus yang dilemahkan, sedangkan dari Eijkman protein rekombinan," katanya.
https://kamumovie28.com/super-dragon-ball-heroes-episode-13/

Vaksin Corona Sinovac dari China Halal? Ini Jawab Menristek RI

 Vaksin CoronaCOVID-19 yang dibuat asal perusahaan China,in Sinovac, akan menjalani uji klinis fase tiga di Indonesia. Jika selama proses berjalan dengan lancar vaksin ini diprediksi akan produksi masal pada awal tahun 2021.
Kabar tentang penggunaan vaksin COVID-19 Sinovac ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Salah satu hal yang kerap jadi pertanyaan adalah bagaimana status halal vaksin.

Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, secara umum penentuan halal dan tidaknya sebuah vaksin melalui dua tahap.

"Tentunya ada dua tahap di tahap pengembangan atau risetnya dan nanti tahap produksi," kata Bambang saat ditemui di Jalan Pasteur, Sukajadi, Kota Bandung pada Rabu, (29/7/2020).

Lebih lanjut, mengenai vaksin Sinovac yang merupakan hasil kerja sama dengan pihak luar, dia mengatakan, bisa diketahui saat produksi yang dilakukan oleh Biofarma dibarengi konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

"Biofarma sudah punya pengalaman panjang untuk mendapatkan status tersebut dari Dewan Syariah atau Dewan MUI," ujarnya.

Sementara itu, dalam kunjungannya ke Biofarma, Bambang membawa misi mengenai rencana riset dan penelitian vaksin Merah Putih. Berbeda dengan vaksin Sinovac, pihaknya memastikan vaksin yang dibuatnya kali ini sudah dapat dipastikan halal bahan dan proses pembuatannya

"Kalo dari kami iya (halal), lembaga Eijkman sejak awal berkonsultasi dengan MUI mengenai apa saja yang harus dipenuhi bisa memenuhi syarat panjang agar halal," ujarnya.

Rencananya, vaksin yang dibuat ini akan diproduksi sebanyak 250 juta dus. Pihaknya menyebut, proses produksi akan dilakukan di Biofarma dengan bentuk platform protein rekombenan dan diprediksi mulai uji klinis pada hewan akhir tahun ini.

"Yang berbeda dari vaksin Sinovac yaitu inactivaty virus, kalau merah putih platformnya protein rekombenan. Ternyata Biofarma punya kemampuan untuk mengerjakan berbagai platform," ucapnya.

Ditemui di tempat yang sama, Direktur Utama Biofarma Honesti basyir mengatakan, sebagai lembaga yang bergerak di bidang farmasi terbesar se-Asia Tenggara, Biofarma akan mengerjakan dari mulai pengembangan hingga final project.

"Kita targetkan yang vaksin merah putih itu tahun depan uji klinik ke manusia fase 1, 2, 3. Kalau lancar itu semuanya, mudah-mudahan awal tahun 2022 kita mungkin sudah bisa memproduksi vaksin merah putih," pungkasnya.

Studi Klaim Orang Berbadan Tinggi Bisa Lebih Berisiko Tertular Corona

Para peneliti dari Inggris, Norwegia, dan Amerika Serikat (AS) melihat ada peningkatan risiko penularan Corona pada orang dengan tinggi tubuh di atas rata-rata. Hal ini disebut berkaitan dengan potensi penularan dari jalur udara alias airborne.
Lewat survei pada 2.000 orang, peneliti melihat berbagai faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi risiko penularan COVID-19. Responden ditanya mengenai berbagai macam hal mulai dari status pekerjaan, pendapatan, hingga pola bepergiannya.

Hasilnya diketahui pria dan wanita dengan tinggi badan di atas 182 cm bisa lebih dari dua kali lipat berisiko tertular Corona bila dibandingkan orang di bawah tinggi tersebut.

Studi tidak menjelaskan bagaimana tinggi badan bisa jadi faktor risiko. Namun, peneliti berhipotesis kemungkinan karena orang dengan tubuh yang tinggi lebih rentan terpapar partikel aerosol.

"Bila droplet yang jatuh ke tanah lebih signifikan, orang-orang yang tinggi mungkin bisa dianggap tidak begitu berisiko terpapar," tulis peneliti yang studinya belum menjalani peer review, seperti dikutip dari Daily Mail pada Rabu (29/7/2020).
https://kamumovie28.com/nanatsu-no-taizai-season-3-episode-1/