Saat ini sebagian besar negara melakukan lockdown untuk menghentikan penyebaran virus Corona yang pertama kali terdeteksi di Wuhan pada akhir tahun lalu. Saat ini tercatat lebih dari 3 juta orang telah terinfeksi dan 220 ribu orang di antaranya dinyatakan meninggal dunia.
Sementara vaksin yang aman dan efektif masih dalam tahap pengembangan, para peneliti bergegas menggunakan obat-obat yang sudah terdaftar dan terapi non-obat serta menguji obat eksperimental yang sudah lolos uji klinis.
Melansir Reuters, tercatat lebih dari 70 kandidat vaksin juga sedang dikembangkan di seluruh dunia dengan setidaknya lima di antaranya sudah memulai uji pada manusia.
Berikut beberapa obat, vaksin, dan terapi lain yang tengah dikembangkan:
1. Remdesivir
Perusahaan biofarmasi Amerika Serikat Gilead Science menyebut remdesivir menunjukkan hasil yang menjanjikan pada pasien Corona. hasil uji coba obat ini pada hari Rabu (29/4/2020), menunjukkan setidaknya 50 persen pasien yang diobati dengan remdesivir selama lima hari membaik. Bahkan lebih dari setengahnya dilaporkan pulang dari rumah sakit dalam waktu dua minggu.
Penasihat kesehatan Gedung Putih, Dr Anthony Fauci, mengatakan uji coba obat remdesivir oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID), yang mendaftarkan sekitar 800 pasien, menunjukkan 'kabar baik'. Obat itu akan ditetapkan menjadi standar perawatan baru untuk pasien COVID-19.
Obat ini, awalnya dikembangkan untuk memerangi virus RNA termasuk virus penyebab penyakit pernapasan. Setidaknya 13 percobaan sedang berlangsung di China, Eropa dan Amerika Serikat dengan hasil awal diharapkan pada Mei 2020. Penilaian Februari oleh WHO menandai remdesivir sebagai yang paling menjanjikan untuk melawan COVID-19.
2. Hydroxychloroquine/Chloroquine
Obat malaria juga diyakini memiliki penangkal virus. Keduanya disebut mampu memblokir SARS-CoV-2 ke dalam sel dalam percobaan in-vitro. Dalam beberapa kasus, penggunaan hydroxychloroquine dikombinasikan dengan obat lainnya, seperti antibiotik Zithromax atau azithromycin. Hasil yang diberikan pun cukup menjanjikan.
Namun penelitian di Brazil yang menguji obat antimalaria klorokuin untuk pasien COVID-19 harus dihentikan lebih awal pada salah satu kelompok pasien setelah mereka mengalami masalah aritmia jantung atau gangguan irama jantung yang berbahaya. Satu rumah sakit di Prancis juga dilaporkan menghentikan pemberian hydroxychloroquine dan klorokuin setelah satu pasien mengalami masalah gangguan irama jantung.
3. Actemra (tocilizumab)
Sebuah perusahaan bioteknologi Roche, asal Switzerland mengembangkan obat atibodi bernama actemra. Obat ini sebelumnya digunakan untuk menangani artritis reumatoid dan sebagai obat kekebalan sitokin pada pasien kanker.
Tercatat 15 uji coba pada obat ini telah dilakukan di China, Eropa, dan Amerika Serikat. Obat ini diberikan kepada pasien positif COVID-19 dan dibandingkan juga dengan pasien yang menjalani terapi lain. Satu percobaan di Prancis melihat adanya perbaikan kondisi pasien di hari ke-28 yang pasien juga merupakan pengidap kanker stadium lanjut.
4. Kevzara (sarilumab)
Obat ini tengah diteliti oleh perusahaan farmasi Amerika Serikat Sanofi dan Regeneron Pharmaceuticals. Kevzara merupakan jenis obat antibodi monoklonal atau pereda radang sendi atau obat imun kekebalan sindrom sitokin.
Kepala peneliti Regeneron Pharmaceuticals mengatakan uji coba Kezvara pada pasien positif COVID-19 menunjukkan hasil yang cukup baik. Hasil analisis tentang efektivitas obat ini untuk COVID-19 rencananya keluar pada April.
5. Jakavi (ruxolitinib)
Obat yang dikembangkan oleh Novartis, Incyte ini sebelumnya digunakan sebagai penyembuhan radang sendi dan autoimun. Uji coba obat Jakavi pada pasien positif virus sudah dilakukan di Kanada dan Meksiko.
Obat Jakavi di Meksiko dan Kanada diberikan pada pasien Corona yang memiliki gejala pernapasan parah dan memiliki sindrom badai sitokin. Hasil uji coba ini kemungkinan baru akan diketahui pada Juni 2020.