Ternate berkaitan erat dengan Portugis dan Spanyol. Saat jaman kolonial, Benteng Tolluko yang jadi pertahanan melindungi Ternate.
Benteng Tolluko berada di kelurahan Sangadji, Kecamatan Ternate Utara, kota Ternate. Hanya perlu waktu sekitar 20 menit menggunakan motor dari pusat kota Ternate.
Benteng yang dibangun pada tahun 1540, oleh Francisco Serao, yang menjabat sebagai jendral pada masa kependudukan Portugis ini bertujuan menghalau musuh utama Portugis, yaitu Spanyol.
Untuk asal usul nama benteng Tolluko sendiri memiliki beberapa versi. Salah satu versi mengatakan bahwa nama Tolluko berasal dari nama Santo Lucas, namun karena kesulitan pengucapan maka menjadi Tolluko.
Versi lain mengatakan bahwa nama itu berasal dari nama Sultan Ternate bernama Kaicil Tolluko. Namun, hal ini dimentahkan karena adanya ketidak sesuaian waktu dalam sejarah.
Memiliki fungsi pertahanan yang strategis membuat benteng Tolluko beberapa kali berganti nama, sesuai negara yang menguasainya. Hingga terakhir bernama Tolluko kembali. Kini benteng yang diperebutkan ini dapat kita kelilingi dengan memberi uang pemeliharaan seikhlasnya kepada penjaga benteng yang rumahnya tepat berada di depan benteng Tolluko.
Benteng Tolluko seolah-olah menjadi saksi kemasyuran Ternate yang terkenal akan rempahnya, khususnya cengkeh dan lada yang membuat Ternate menjadi rebutan banyak negara.
Meskipun fungsinya sekarang sudah berubah, warga setempat masih terus menjaga nilai sejarah benteng ini. Hal ini nampak dari terawatnya benteng Tolluko. Bahkan terdapat rumput hijau dan tanaman bunga bougenville warna-warni yang semakin mempercantik penampilan benteng Tolluko.
Dari atas benteng Tolluko kita juga bisa menyaksikan lautan luas, juga tampak gunung Gamalama dan rumah penduduk setempat. Duduk santai di salah satu tembok benteng sambil membayangkan kejayaan benteng Tolluko di masa lampau akan membuat traveler menyadari, betapa beruntungnya menjadi rakyat Indonesia.
Terpesona Kota Tua Ipoh yang Menawan
Malaysia bukan cuma punya batu cave. Di sana juga ada kota tua cantik nan eksotis, inilah Ipoh yang jadi ibukota Kerajaan Perak.
Akhir pekan memang waktu yang tepat untuk jalan-jalan ke negeri jiran, terlebih setelah penat melaksanakan tugas luar kota ke Batam. Tujuan saya kali ini adalah Ipoh dan Kuala Kangsar karena kota ini relatif jarang dikunjungi oleh wisatawan Indonesia.
Selain itu Ipoh terkenal sebagai kota eks-tambang timah, seperti Kep. Babel, namun sekarang menjadi ibukota Kerajaan Perak yang menjadi bagian dari Federasi Malaysia.
Dari Batam saya naik ferry menuju Stulang Laut, lalu perjalanan dilanjutkan ke Terminal Larkin Sentral, Johor Bahru. Dari terminal inilah seluruh bis tujuan kota-kota besar di Malaysia diberangkatkan.
Sebenarnya sih ingin naik kereta api, namun karena tidak ada rute langsung ke Ipoh terpaksa saya harus naik bis menuju KL sebelum berganti kereta ke Ipoh.
Dari Johor kurang lebih lima jam perjalanan melalui Lebuh Raya Utara Selatan (Jalan Tol Trans Semenanjung Malaya) menuju TBS (Terminal Bersepadu Selatan) di KL. Lalu perjalanan dilanjutkan menggunakan komuter ke stasiun KL Sentral sebelum menaiki kereta api ETS ke Ipoh.
Seperti di Indonesia, tiket KA di Malaysia juga harus dipesan jauh hari, dan sayapun dapat tiket malam hari karena baru pesan tiga hari sebelum perjalanan.
Perjalanan dimulai pukul 21.10 dan tiba pukul 00.30 waktu setempat di stasiun Ipoh. Gerbongnya sendiri agak mirip Kereta Premium Ekonomi KAI, namun dibuat seperti kereta komuter jarak jauh, jadi tidak ada loko tersendiri melainkan menggunakan tenaga listrik untuk menghela kereta.
Modelnya mirip Shinkansen namun kecepatannya maksimal hingga 140 km per jam karena kondisi rel dan jalur yang dilalui tidak aman untuk kecepatan lebih dari itu.
Setiba di Ipoh saya langsung kagum dengan bangunan stasiun tua yang masih dipertahankan, mirip seperti stasiun Gubeng. Bangunan ini dibangun pada masa penjajahan Inggris dari tahun 1914 hingga 1917. Dijuluki sebagai Taj Mahal oleh penduduk lokal karena bentuknya yang mirip ikon wisata India tersebut.