Senin, 02 Maret 2020

Berkelana di Tanah Madura (3)

Sesaat kemudian, Empu Sanamo juga datang untuk menyambut kedatangan saya beserta rombongan. Setelah sejenak bercengkrama dengan cerita sejarah desa ini, saya diajak oleh Empu Sanamo untuk berkeliling Aeng Tong Tong. Menggunakan sepeda motor, kami mulai mengunjungi satu persatu rumah para empu disini.

Ternyata hampir seluruh warga Desa Aeng Tong Tong adalah pembuat keris. Tak hanya orang dewasa, anak- anak disini pun sudah mulai belajar menjadi seorang pembuat keris. Keris-keris disini juga membuat saya takjub, betapa rumitnya ukiran-ukiran dan berbagai bentuk keris yang unik.

Tak terasa satu jam kami berkeliling, kami kembali menuju Balai Desa Aeng Tong Tong. Beristirahat sejenak, saya kemudian pamit untuk melanjutkan perjalanan saya menuju Pamekasan. Jika ditanya tempat apa yang meninggalkan kesan mendalam, saya akan menyebut Desa Aeng Tong Tong.

Warganya sangat ramah dan dengan senang hati mengantarkan siapapun yang ingin mengenal lebih Desanya Para Empu ini. Bus mulai melaju menuju Pamekasan, meninggalkan Sumenep yang penuh kenangan.

Senja menjadi penghantar perjalanan hingga kami tiba di penginapan. Melepas lelah saya memilih untuk beristirahat, mempersiapkan diri melihat festival sapi esok hari.

Suara musik khas Madura bersahut-sahutan ketika saya memasuki Stadion R. Sunaryo Pamekasan. Tempat digelarnya festival Sapi Sonok, yaitu festival kecantikan bagi sapi betina Madura. Esok hari, di tempat ini juga akan digelar ajang paling bergengsi se-Madura yaitu Karapan Sapi yang memperebutkan piala Presiden.

Sapi-sapi yang hadir tampaknya memang sapi pilihan, terlihat dari betapa indahnya bentuk dan bulu sapi. Sepertinya biaya yang dikeluarkan untuk merawat sapi ini tak murah. Dalam kontes ini tak hanya fisik sapi yang mempengaruhi penilaian, namun cara berjalan dan ketepatan sapi memasuki gapura yang berada di ujung lintasan.

Mungkin ini adalah hari yang ditunggu-tunggu bukan hanya bagi para pemilik sapi karapan, namun juga sebagian besar masyarakat Madura. Ajang bergengsi di gelar hari ini, karapan Sapi memperebutkan piala Presiden.

Cuaca Pamekasan cukup cerah pagi ini, orang-orang berbondong-bondong menuju Stadion R. Sunaryo untuk melihat karapan sapi. Ternyata, stadion telah dipenuhi oleh masyarakat maupun para turis ketika saya tiba pada pukul 8 pagi, padahal lomba baru akan dimulai pukul 10.00 WIB.

Saya berkeliling mencari spot terbaik untuk melihat kecepatan sapi-sapi karapan saat bertanding. Cukup sulit memang, karena tempat-tempat terbaik telah terisi. Sepertinya lain kali saya harus tiba lebih awal.

Terik sang surya tak menyurutkan semangat para penonton menunggu pertandingan dimulai. Meskipun sedikit terlewat dari jadwal, pertandingan pertama dimulai dan disambut dengan sorak-sorai penonton.

Puluhan pasang sapi yang datang dari empat kabupaten di Madura saling beradu kecepatan. Musik khas Madura dan juga teriakan penyemangat dari pendukung membuat suasana kian meriah. Pertandingan pun berlangsung hingga sore hari, dan sapi milik H. Samsuddin yaitu Sonar Muda keluar sebagai juara.

Tak terasa berhari-hari saya bertualang di Pulau Madura. Beragam hal dan teman-teman baru saya temui di Pulau Garam ini. Perjalanan yang mengesankan, itulah yang saya rasakan. Sampai jumpa di lain kesempatan, Madura.

Berkelana di Tanah Madura (2)

Bus mulai melaju menjauh dari Pelabuhan Kamal. Melewati jalan yang tak terlalu besar dan juga berkelok di pesisir selatan Madura, kami akhirnya tiba di penginapan pada tengah malam. Esok hari kami akan mengunjungi berbagai tempat di Sumenep.

Setelah bersiap, pada pukul 07.00 WIB kami menuju keraton Sumenep. Dibangun sejak 1781, hingga saat ini keraton Sumenep masih berdiri megah. Banyak peninggalan yang akan kita temui di keraton ini. Mulai dari kereta kuda yang telah berumur ratusan tahun hingga barang-barang lainnya yang digunakan oleh para raja Sumenep.

Di keraton ini saya berjumpa dengan seseorang, bernama Empu Sanamo, beliau adalah seorang pembuat keris yang berasal dari desa Aeng Tong Tong. Beliau bercerita banyak mengenai desa tempat tinggalnya. dimana setelah itu saya mengetahui bahwa Aeng Tong Tong adalah desa dimana hampir seluruh warganya pembuat keris.

Beliau pun mengajak saya berkunjung ke desanya untuk melihat proses pembuatan keris. Setelah berkeliling keraton, kami kembali bersiap untuk menuju tujuan selanjutnya yaitu Asta Tinggi. Tujuan kali ini masih berkaitan dengan Keraton Sumenep, karena Asta Tinggi adalah tempat dimana raja-raja Sumenep dimakamkan.

Letaknya tak terlalu jauh dari keraton, hanya butuh 15 menit dengan kendaraan kami tiba di Asta Tinggi. Asta berarti makam sedangkan Tinggi di sini dimaksudkan karena letaknya yang memang berada di bukit.

Kompleks makam ini begitu luas, terbagi beberapa bagian makam sesuai dengan struktur kekerabatan dengan gerbang utama yang besar berwarna putih. Selepas berkeliling komplek makam, tak terasa hari menjelang sore. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju desa yang terbilang unik, Desa Legung namanya.

Di desa ini alas tidur yang digunakan warga adalah pasir. Desa Legung terletak di utara Asta Tinggi. Kami menempuh waktu satu jam untuk tiba di Desa Legung. Seperti desa pesisir pada umumnya, warga di sini sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.

Namun hal yang unik adalah setiap rumah memiliki kolam pasir di dalam maupun luar rumah. Warga mengaku lebih memilih tidur di pasir daripada harus tidur di kasur. Di pinggir pantai saya bercengkrama dengan pemuda Legung, namanya Badri. Ia berkata merasa nyaman tidur di pasir karena merasa dingin dan nyaman, sedangkan tidur di kasur terasa panas.

Warga seakan sangat akrab dengan pasir. Beberapa Ibu-Ibu melakukan berbagai aktivitasnya di dalam kolam pasir yang terdapat di bagian depan rumah. Bahkan, anak-anak Legung tak ragu untuk bermain dan berguling di atas pasir.

Pasir desa Legung memang berbeda, terasa lebih halus juga bersih. Pasir berasal dari tempat khusus di sekitar pantai Legung yang jarang digunakan untuk beraktivitas. Sehingga kebersihan pasir tetap terjaga. Selain itu, setiap harinya warga juga selalu membersihkan pasir yang berada di halaman maupun di dalam rumah.

Tak terasa petang menjelang. Perjalanan hari ini usai, kami kembali pulang. Hari ini adalah hari terakhir saya berada di Sumenep. Tak mau menyia-nyiakan ajakan Empu Sanamo yang saya temui di keraton Sumenep sehari sebelumnya, saya berkunjung ke Desa Aeng Tong Tong.

Setelah berkemas, saya memulai perjalanan menuju ke desa para empu. Perjalanan memakan waktu 30 menit hingga kami tiba di jalanan yang sedikit menanjak dan mulai mengecil. Pertanda kami telah memasuki wilayah Desa Aeng Tong Tong. Di desa ini kami disambut oleh seorang wanita bernama Ika, yang setelahnya saya ketahui bahwa ia adalah satu-satunya empu wanita.