Senin, 02 Maret 2020

Berkelana di Tanah Madura

Pulau Madura ternyata lebih dari sekadar Karapan Sapi. Cerita berikut ini akan membuat traveler jadi mau berkelana menjelajahi Tanah Madura.

Lembayung pagi mengawali perjalanan ini, dengan tiket kereta yang saya dapatkan dari tiket.com karena lebih aman, mudah dan banyak potongan harga. Saya berangkat menaiki kereta Sancaka yang mulai melaju perlahan membawa saya dari Yogyakarta menuju Surabaya.

Arah langkah sebenarnya dari perjalanan ini adalah Pulau Madura, pulau yang terkenal akan garam dan Karapan Sapinya. Setelah menempuh lima jam perjalanan, akhirnya kereta tiba di Stasiun Gubeng Surabaya.

Teriknya siang dan suhu panas menyambut kedatangan kami di Kota Pahlawan ini. Selepas membeli cemilan pengisi perut, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus yang telah kami sewa.

Bus pun mulai melaju mengarah ke Suramadu, jembatan ikonik yang menjadi penghubung Pulau Jawa dengan Madura. Jalanan di Surabaya yang padat menjadi pemandangan dari balik kaca bus. Lima belas menit melaju, bus tiba di pintu gerbang jembatan.

Hamparan Selat Madura mulai terlihat bersamaan dengan jalan yang sedikit menanjak. Tak perlu waktu lama melewati jembatan ini. 15-30 menit adalah waktu normal untuk melewati jembatan sepanjang 5.348 m itu.

Setiba di ujung Suramadu bagian Madura, suasana sangat berbeda dengan Surabaya. Hanya ada warung-warung kecil dan pepohonan yang mengering di sisi jalan. Kontras dengan gedung-gedung di Pulau Jawa.

Tanah lapang yang luas mulai berganti menjadi deretan toko dan rumah penduduk, menandakan kami telah memasuki pusat dari Kabupaten Bangkalan. Selepas beristirahat sejenak, sore hari kami menuju Pelabuhan Kamal. Pelabuhan yang kini tak lagi ramai semenjak Jembatan Suramadu diresmikan.

Jalanan cukup lengang, setelah 30 menit perjalanan kami tiba. Tak seperti pelabuhan-pelabuhan yang pernah saya kunjungi, Kamal memang terlihat sepi. Terlihat hanya sedikit aktivitas, bahkan beberapa dermaga tak lagi digunakan.

Namun, kapal penyebrangan masih silih berganti bersandar di dermaga mengangkut penumpang dan juga kendaraan. Penasaran, saya bertanya harga tiket kepada salah satu penjaga dermaga kamal.

Ternyata cukup murah, hanya Rp 5.000,00 saja. Saya pun bergegas menuju loket tiket yang berdekatan dengan patung karapan sapi, patung yang menjadi saksi bisu kejayaan pelabuhan Kamal.

Kapal perlahan menjauhi dermaga, berlabuh menuju Surabaya. Sore itu suasana kapal cukup ramai. Suara pedagang dan obrolan penumpang menyamarkan suara mesin kapal. Dari kejauhan jembatan Suramadu tampak kokoh menjadi penyambung kedua pulau. Selain itu, kapal-kapal lain yang berlalu-lalang dan mentari di ufuk barat menjadi teman perjalanan sore itu.

Tak terasa 30 menit berlalu, kapal telah sandar di dermaga pelabuhan Surabaya. Para penumpang dan kendaraan pun mulai meninggalkan kapal. Saat itu saya memilih untuk tetap berada di atas kapal.

Tak butuh waktu lama, kapal kembali terisi oleh para penumpang. Kapal pun kembali menuju pelabuhan Kamal, Madura. Setibanya di Pelabuhan Kamal, mentari telah sepenuhnya kembali ke kiblatnya.

Saya dan rombongan pun bersiap melanjutkan perjalanan. Malam ini kami akan menuju Kabupaten Sumenep, kabupaten yang letaknya di ujung timur Pulau Madura. Menurut sang supir bus, waktu tempuh dari Bangkalan menuju Sumenep adalah lima jam.

Ada Gua Keramat dengan Lafal Allah di Misool

Berwisata ke Misool, Raja Ampat ada destinasi gua yang menarik dikunjungi. Pintu gua ini dihiasi oleh lafal Allah. Konon katanya, ini gua yang keramat.

Misool terkenal dengan panorama alamnya yang indah dan mempesona. Di tengah keindahan yang ditawarkan alam pulau Misool, terdapat juga jejak sejarah dan peradaban masa silam, baik berupa lukisan tangan pada dinding-dinding karst juga bentuk-bentuk gua yang unik.

Salah satu gua yang sangat terkenal yakni Gua Keramat Ti Pale. Gua ini terletak di antara Distrik Misool Selatan dan Distrik Misool Timur. Mulut gua ini menghadap ke lautan.

Untuk masuk ke tempat ini, kita harus menyusuri sebuah lorong kecil, sebuah aliran air laut yang melintasi celah kecil di antara bebatuan, karang karst dan pepohonan. Sebuah kolam dengan airnya yang biru, segar dan dingin membentang di antara celah bebatuan dan dinding gua.

Keberadaan kolam mini ini tentunya seolah mengingatkan kita pada kisah dan legenda masa lampau, di mana gua dan kolam merupakan tempat istimewa, sebagai tempat permandian para bidadari, putri khayangan.

Ya, gua ini memang begitu eksotis, sebuah mahakarya yang menjadi saksi bisu keagungan dan keindahan tangan Tuhan. Pada dinding dan langit gua bergelantungan stalaktit yang mengeluarkan tetesan air lalu jatuh dan menyebur pada kolam mini. Selain itu, ditemukan banyak tengkorak manusia.

Sedangkan pada serambi gua terdapat dua makam orang yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Kepulauan Misool. Pada sisi dinding atas gua, tampak sebuah lukisan atau tulisan lafadz Allah. Sebuah kalimat suci yang mengungkapkan keagungan Tuhan Sang Pencipta.

Alam memang tak dapat bicara, namun lewat ekspresi keindahannya ia mampu menggerakan akal dan daya manusia. Bahwa keindahan adalah bagian dari daya dan cipta tangan Tuhan. Karena itu, kita dituntun untuk terus melakukan sujud dan syukur.

Saat ini, Gua Keramat Ti-Pale selain untuk wisata juga untuk ziarah. Masyarakat Lokal menyebut gua keramat. Banyak cerita dan kisah tentang gua ini. Kejadian-kejadian yang menciutkan nyali para pengunjung.

Meskipun demikian, tak semua orang tentunya dapat mengalami peristiwa tertentu di tempat ini. Tergantung suasana batin dan moral laku. Suasana gua yang sunyi, jauh dari perkampungan, tentunya memberikan kesan mistis.

Tak ada yang dapat seorang diri berkunjung ke tempat ini. Bahkan para pekerja yang saat ini sedang mengerjakan jembatan di tempat ini, harus pulang saat malam tiba, tak berani tidur atau nginap di lokasi gua.

Namun demikian, hampir setiap hari gua ini dikunjungi oleh para wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara. Selain untuk sekadar menikmati suasana gua, tetapi juga untuk berziarah, menenangkan batin dan pikiran. Jika anda ke Misool, jangan lupa berkunjung ke tempat ini.

Berkelana di Tanah Madura

Pulau Madura ternyata lebih dari sekadar Karapan Sapi. Cerita berikut ini akan membuat traveler jadi mau berkelana menjelajahi Tanah Madura.

Lembayung pagi mengawali perjalanan ini, dengan tiket kereta yang saya dapatkan dari tiket.com karena lebih aman, mudah dan banyak potongan harga. Saya berangkat menaiki kereta Sancaka yang mulai melaju perlahan membawa saya dari Yogyakarta menuju Surabaya.

Arah langkah sebenarnya dari perjalanan ini adalah Pulau Madura, pulau yang terkenal akan garam dan Karapan Sapinya. Setelah menempuh lima jam perjalanan, akhirnya kereta tiba di Stasiun Gubeng Surabaya.

Teriknya siang dan suhu panas menyambut kedatangan kami di Kota Pahlawan ini. Selepas membeli cemilan pengisi perut, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus yang telah kami sewa.

Bus pun mulai melaju mengarah ke Suramadu, jembatan ikonik yang menjadi penghubung Pulau Jawa dengan Madura. Jalanan di Surabaya yang padat menjadi pemandangan dari balik kaca bus. Lima belas menit melaju, bus tiba di pintu gerbang jembatan.

Hamparan Selat Madura mulai terlihat bersamaan dengan jalan yang sedikit menanjak. Tak perlu waktu lama melewati jembatan ini. 15-30 menit adalah waktu normal untuk melewati jembatan sepanjang 5.348 m itu.

Setiba di ujung Suramadu bagian Madura, suasana sangat berbeda dengan Surabaya. Hanya ada warung-warung kecil dan pepohonan yang mengering di sisi jalan. Kontras dengan gedung-gedung di Pulau Jawa.

Tanah lapang yang luas mulai berganti menjadi deretan toko dan rumah penduduk, menandakan kami telah memasuki pusat dari Kabupaten Bangkalan. Selepas beristirahat sejenak, sore hari kami menuju Pelabuhan Kamal. Pelabuhan yang kini tak lagi ramai semenjak Jembatan Suramadu diresmikan.