Kamis, 30 Januari 2020

Bangunan Berkubah Bawang Ini Punya Mosaik Terbanyak Sedunia, Tahu?

Gereja yang ini merupakan ikon St Petersburg. Bangunannya khas dengan kubah berbentuk bawang, bernama Church of the Saviour and Spilled Blood.
Gereja ini terletak di lokasi pembunuhan Emperor Alexander II pada tahun 1881. Alexander II dikenal karena mengeluarkan kebijakan emansipasi budak Rusia, mereformasi sistem peradilan, dan menghapuskan hukuman fisik. Dibangun tahun 1883 hingga 1907, gereja ini memiliki struktur khas Barok dan Neoklasik.

Setelah terjadinya revolusi, Church of the Saviour and Spilled Blood sempat dijarah dan ditutup pada tahun 1932 dan menjadi tempat pembuangan sampah. Kerusakan akibat Perang Dunia kedua pun masih berbekas di gereja ini.

Setelah Perang Dunia kedua, gereja menjadi gudang untuk Small Opera Theatre. Gereja dibuka kembali pada Agustus 1997 setelah dilakukannya restorasi besar-besaran.

Yang menjadi ciri khas gereja ini adalah kubah berbentuk bawang yang masing-masing dicat dengan warna cerah sehingga sangat eye catching. Bagian dalam juga diisi oleh mosaik dan mural yang sangat berwarna. Bahkan hampir semua bagian dalam dinding gereja ini dipenuhi oleh mural. Tak hentinya saya berdecak kagum.

Tak heran jika gereja ini diyakini sebagai gereja dengan mosaik paling banyak di dunia. Saya juga setuju kalo gereja ini merupakan salah satu gereja dengan arsitektur yang unik. Rasanya tidak bosan-bosan berfoto dengan latar belakang eksteriornya. Interiornya juga keren pakai banget dan keliatan sekali megahnya.

Tiket masuknya 300 rubel, dan dibuka setiap hari kecuali hari Rabu. Jangan sampai melewatkan gereja ini saat St Petersburg ya traveler.

Cerita di Balik Kentalnya Adat Melayu Tanjung Pinang

 Tanjung Pinang, sebuah pulau di Kepulauan Riau yang memiliki sejarah sangat kuat dengan Kesultanan Johor, Malaysia. Hingga kini nuansa Melayu masih begitu kental di sana.
Tanjung Pinang adalah ibu kota dari Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Kota ini terletak di Pulau Bintan dan beberapa pulau kecil seperti Pulau Dompak dan Pulau Penyengat.

Mengunjungi Kota Tanjung Pinang kita akan merasakan nuansa melayu yang sangat kental. Konon ceritanya pada zaman dahulu ada hubungan kekerabaratan antara Kesultanan di Tanjung Pinang dengan kesultanan Johor, Malaysia. Tak heran nuansa Melayu sampai sekarang masih bisa dirasakan.

Tak lengkap rasanya jika kita berkunjung ke Tanjung Pinang jika tidak mengunjungi tempat tempat wisata serta kuliner yang ada di Tanjung Pinang. Tanjung Pinang, Bintan memiliki sebuah kolam renang terbesar se Asia Tenggara.

Kolam renang tersebut bernama Crystal Bay. Kolam renang tersebut luasnya 6.3 hektar, kolam renang yang cukup luas bukan. Berada dikolam renang Crystal Bay seperti berada ditepi pantai dengan pohon pohon kelapa di pinggirnya

Selain Crystal Bay, Bintan juga memiliki sebuah vihara yang sangat unik, kenapa unik? Karena Vihara ini memiliki patung 1000 wajah. Vihara ini bernama Vihara Ksitigarbha Bodhisattva, merupakan salah satu tempat ibadah yang sering dikunjungi oleh berbagai umat seperti dari Thailand, Singapore & Malaysia untuk beribadah.

Menguak Tempat Terpencil di Bumi: Pulau Kekecewaan (2)

Andrew pun merasakan betul kehidupan di sana. Sudah ada pembangkit listrik tenaga surya, tapi itu pun jumlahnya tidak banyak dan sering rusak. Ya sudah tak mengapa, toh lukisan Tuhan di depan mata begitu indah.

Pasir pantainya begitu putih bersih, dengan lautan biru jernih. Terumbu karangnya benar-benar berwarna-warni dengan aneka ukuran. Ikan-ikan pun sangat banyak, yang bisa dibilang lautnya begitu sehat.

Kalau ada turis, semua masyarakat di Disappointment Islands bisa mengenalinya. Malah, Andrew disambut oleh Marina, sang Tavana alias walikota di Disappointment Islands.

Sekitar 1 minggu di Disappointment Islands, Andrew melihat bagaimana kehidupan masyarakat di sana. Mereka sehari-hari hidup dengan cara memancing ikan, serta menjual kopra (daging buah kelapa yang dikeringkan untuk dijadikan minyak kelapa) lewat pesawat kargo ke Haiti. Tapi ya itu tadi, karena pesawatnya tak menentu datangnya sehingga lebih banyak orang-orang di sana menjadi nelayan.

Tapi, bagaimana dengan air bersih? Bukannya kata Ferdinand Magellan tidak ada sumber air bersih di sana ya?

"Kami memang tidak punya air bersih, tapi setiap hari kami bisa minum kelapa," kata Andre salah seorang penduduk setempat.

Bicara soal kelapa, ada hal unik di sini. Ada pohon-pohon kelapa yang mempunyai 4 'kepala'!

Selama di Disappointment Islands, Andrew sungguh bahagia. Ada satu momen, saat Jean Kape, penduduk asli Napuka mengajaknya berdiskusi. Kape yang sering bolak-balik ke Haiti bercerita, dia tahu betul kalau tempat tinggalnya disebut Disappointment Islands (Pulau Kekecewaan) dan tentu konotasinya negatif.

"Jika orang lain memberitahu kamu tentang suatu tempat hanya menurut pendapatnya, itu adalah suatu hal yang salah. Sebab itu hanya pendapat yang dia rasakan bukan kenyataan yang ada," papar Kape.

Menurut Kape, kehidupan di Disappointment Islands sangatlah damai. Tidak ada perang, tidak ada kriminalitas, semuanya saling membantu untuk (bertahan) hidup.

"Kami punya kehidupan yang sakral di sini, sungguh orisinil dan tidak tersentuh. Kami juga bagian dari sejarah kehidupan umat manusia di Bumi," tambah Kape.

Dan ya, Disappointment Islands sudah kadung disebut dengan nama seperti itu. Beruntungnya, masyarakat di kepulauan tersebut tidak terlalu mempedulikannya.

Toh apapun namanya, mereka hidup dengan caranya sendiri sudah sedia lama. Tidak ada kekecewaan di Pulau Kekecewaan ini.

Mengapa disebut Pulau Kekecewaan?

Menarik untuk menguak sejarah dari Disappointment Islands. Dirangkum dari BBC Tracvel, Kamis (2/5/2019) penjelajah dunia yang pertama melihat kepulauan itu adalah Ferdinand Magellan di tahun 1520. Sayangnya, tidak ada sumber air bersih yang membuat Ferdinand dan krunya langsung meninggalkan pulau-pulau di sana. Mereka pun menyebutnya 'Unfortunate Islands'.

Kemudian di tahun 1765, gantian penjelajah asal Inggris yaitu John Byron. Kapalnya hendak berlabuh di sana, akan tetapi sulit karena lautan dangkal di sekitar pantai dan penuh karang. Belum lagi, masyarakat setempat menunjukan gestur tidak suka dengan mengangkat tombak dan mengusirnya.

Kapal John Byron sempat menembakan meriam supaya masyarakat menjauh. Akan tetapi, masyarakat di sana tetap melawan dengan mengangkat tombak dan melempar batu. Sehingga John Byron pergi, lalu menyebut pulau tersebut dengan nama Disappointment Islands.

Sebegitu mengecewakannya kah pulau itu?

Penulis dari BBC Travel, Andrew Evans menceritakan perjalanannya ke sana. Tidak ada banyak informasi di internet mengenai Disappointment Islands. Yang pasti tidak ada listrik, sinyal telepon apalagi industri pariwisata (hotel).

Begitu tiba di Napuka, salah satu pulau di Disappointment Islands justru Andrew disambut dengan meriah. Rupanya, memang tidak banyak orang asing atau turis yang datang ke sana. Bisa dihitung jari!