Senin, 30 Desember 2019

Jalan-jalan di China Tanpa Guide & Wifi, Bisa Kok!

Jalan-jalan di China tanpa guide dan sinyal Wifi ternyata bisa juga kok. Sistem transportasinya sudah bagus dan mudah kalau mau kemana-mana.

Jika memilih untuk pergi ke sebuah negara di Asia Timur, pada umumnya orang lebih memilih Jepang atau Korea. Namun keinginan ibu saya untuk melihat negeri tirai bambu ini, membuat saya mengesampingkan terlebih dahulu kedua negara tersebut dan memutuskan untuk pergi ke China.

Kami pergi ke tiga kota di China yaitu Beijing, sebagai ibukota, kemudian Xian dan Chengdu. Banyak hal menarik yang didapat dalam perjalanan ini. Sama sekali tidak mudah melakukan perjalanan tanpa guide dan tanpa keterampilan berbahasa Mandarin.

Terlebih lagi, kita tidak bisa mengakses google untuk mencari info ataupun media sosial seperti Instagram. Namun, hal itulah yang membuat perjalanan ini menjadi seru dan istimewa.

Saat kami tiba di Bandara Internasional Beijing, waktu sudah menunjukkan dini hari. Keluar dari bandara, kami disambut dengan keribetan memilih taksi. Saking banyaknya taksi yang mengantri namun semrawut dan macet, calon penumpang pada akhirnya bebas naik taksi yang diinginkan.

Selain taksi biasa, ternyata di sini ada juga taksi-taksi yang tidak resmi menawarkan jasanya. Tentu saja kami akhirnya memilih taksi resmi yang paling dekat dengan posisi kami dan langsung memperlihatkan bookingan hotel tempat kami menginap yang ada tulisan Chinanya untuk mempermudah sang supir.

Beliau berbicara sendiri dalam bahasa Mandarin dengan cepat, sepertinya bertanya kepada kami dimana letak hotelnya, yang tentu saja tidak bisa kami jawab. Selama perjalanan pun sang bapak masih ribut berbicara sendiri, yang membuat kami was-was apakah bisa sampai di hotel atau tidak.

Tapi hebatnya taksi di China, semuanya memakai GPS, dan betapa leganya akhirnya kami sampai di depan hotel kami. Padahal hotel kami bukan hotel di pinggir jalan besar, harus masuk agak dalam. Saat turun taksi, kita akan diberikan struk tanda terima sesuai dengan tarif taksi. Dan tentu saja tidak perlu memberi tip.

Di Beijing kami mengunjungi objek- objek wisata seperti Temple of Heaven, Summer Palace, Tiananmen Square, Forbidden City, dan tentu saja Tembok Besar China. Berwisata ke China memang memerlukan energi yang cukup karena harus banyak berjalan. Lihat saja Forbidden City yang luasnya 720,000 meter persegi, dengan ruangan lebih dari 8000 dan bangunannya ada 800. Bagaimana tidak gempor jalannya.

Tapi jangan salah, luas Forbidden City ternyata masih kalah dibandingkan luas kawasan Temple of Heaven. Begitu juga Tembok Besar China dimana kita harus berjalan naik jalan yang menanjak.

China punya sistem transportasi yang sudah begitu baik, canggih dan mudah. Harganya pun tidak mahal, bis kota hanya sekitar 2 yuan. Tapi karena kami bepergian 4 orang, naik taksi lebih efisien. Harganya pun tidak mahal. Dan di jalan, sering sekali kami melihat bis listrik, keren.

Banyak orang bilang, di China itu jorok-jorok. Di jalanan bisa gampang dilihat orang meludah dan kotor. Tapi terus terang, selama perjalanan di tiga kota ini saya tidak pernah melihat ludah di jalanan dan kotanya termasuk sangat bersih. Seperti yang saat berada di Tiananmen Square, tidak ada sampah yang saya temukan. Apalagi di sana ada beberapa petugas kebersihan yang selalu siap sedia membersihkan sampah.

Tapi sebenarnya memang tidak banyak juga yang buang sampah sembarangan sih. Mungkin yang masih menjadi masalah adalah bau kurang sedap di toilet (meskipun toiletnya bagus) yang memang juga saya alami.

Salah satu yang menjadi kendala di China adalah tidak banyak loket di lokasi objek wisata yang memberikan informasi dalam bahasa Inggris. Jadi seringnya saya menerka-nerka harga tiket hanya dengan melihat angka yang tertera di papan.

Legenda di Balik Patung Buddha Tidur Myanmar

Traveling ke Myanmar, ada banyak patung Buddha tidur yang bisa dilihat traveler. Salah satu yang cukup istimewa adalah Patung Shwe Tha Lyaung di Kota Bago.

Selama kunjungan penulis di Myanmar terhitung lebih dari 10 kali penulis mengunjungi kuil-kuil dimana terdapat patung-patung Buddha dalam posisi berbaring berukuran besar yang panjangnya mencapai puluhan meter. Di antaranya yang terbesar dan terpanjang adalah patung Buddha Chauk Htat Gyee Image di kota Mandalay yang panjangnya mencapai 250 kaki atau 76.45 meter.

Di Kota Bago juga terdapat patung sejenis bernama Shwe Tha Lyaung namun lebih kecil dan pendek. Panjang patungnya hanya sekitar 180 kaki atau 54,88 meter, dengan tinggi 16 meter. Namun kuil ini ramai dikunjungi umat Buddha yang berdoa dan tentunya wisatawan asing.

Setelah kami melihat potongan-potongan gambar yang ada di dinding dekat patung tersebut, ternyata kuil ini memiliki kisah mengenai penyebaran agama Buddha di Kota Bago. Beruntung di bawah gambar-gambar tersebut selain tertulis Bahasa Myanmar, juga terdapat terjemahan dalam Bahasa Inggris sehingga kami bisa memahami jalan cerita kisah tersebut.

Lukisan 1:

Kisah ini bermula ketika raja Migadekpa dari Kerajaan Hanthawaddy yang berkuasa memerintahkan putranya pergi berburu ke hutan, untuk mendapatkan hewan buruan yang akan dikorbankan sebagai persembahan bagi dewa-dewa yang disembah raja dan rakyatnya.

Lukisan 2:

Pangeran dengan diiringi para pengawal berangkat berburu ke hutan.

Lukisan 3:

Dalam perjalanan memasuki hutan rombongan sampai di sebuah desa kecil dekat Suvannabhumi, disana pangeran beremu seorang gadis suku Mon bernama Dalahtaw yang merupakan pengikut Budha dan sang pangeran pun jatuh cinta kepadanya.

Lukisan 4:

Pangeran menikahi Dalahtaw dan menjanjikan dalahtaw bebas menjalankan ajaran Buddha dan membawa Dalahtaw ke istana kerajaan Hanthawaddy.

Lukisan 5:

Di dalam istana Dalahtaw tidak mau menyembah dewan-dewa sembahan raja dan rakyat kerajaan, namun justru menyembah Sang Buddha di dalam ruangannya sendiri.

Lukisan 6:

Atas desakan para pejabat istana kepada raja, akibat tindakan Dalahtaw yang dianggap menghina dewa-dewa sembahan mereka karena tidak menyembah dewa-dewa namun justru menyembah Sang Buddha, akhirnya Raja Migadeikpa menjatuhkan hukuman agar Dalahtaw bersama orang-orang yang mengikutinya dibunuh dan dikorbankan kepada dewa-dewa.

Lukisan 7:

Di depan patung dewa yang disembah raja dan rakyat Hanthawaddy sebelum eksekusi dilaksanakan, Dalahtaw berdoa kepada sang Budha didepan 3 buah permata dari Buddhisme yaitu Buddha, ajaran Buddha dan masyarakat Buddha dan bersumpah yang menyebabkan patung dewa tersebut hancur berkeping-keping.

Lukisan 8:

Melihat kejadian itu raja Migadeikpa diliputi perasaan takut dan menyesal atas apa yang dilakukan, akhirnya beliau membebaskan putra dan menantunya serta memerintahkan agar patung Buddha dibangun dan disembah rakyat menggantikan patung-patung dewa sebelumnya.

Lukisan 9:

Akhirnya seluruh rakyat kerajaan Hanthawaddy melepaskan agama lama mereka dan menjadi pengikut Buddha serta membangun sebuah patung Buddha yang berukuran sangat besar.

Lukisan 10:

Raja Migadeikpa yang kini sudah menjadi pengikut ajaran Buddha menyelesaikan pembangunan patung Buddha di tahun 994 M yang kini dikenal sebagai Shwe Tha Lyaung Budha.

Tahun pun berlalu dengan cepat dan raja-raja serta dinasti-dinasti silih berganti hingga patung Buddha ini pun terlupakan. Akhirnya 500 tahun lebih kemudian, di abad 15 Masehi Raja Dhammazedi merenovasi patung ini.

Namun di tahun 1757 akibat pemberontakan bangsa Mon kepada Bangsa Burma, Kota Bago dihancurkan dan patung Buddha ini pun kembali terlupakan dan tersembunyi di balik lebatnya pepohonan. Hingga akhirnya ditemukan Bangsa Inggris ketika sedang membangun jalan kereta api yang menghubungkan kota Bago dengan Yangoon.

Akhirnya patung ini dikembalikan ke tempat asalnya dan untuk melindunginya dari hujan dibangunlah pavilion besi (tazaung) di atas patung. Seiring waktu, bangunan lainnya pun ditambahkan di komplek kuil ini.

Waktu buka : setiap hari termasuk hari libur nasional mulai dari jam 6 pagi-8 malam

Tiket masuk bisa menggunakan Bago archeological Zone senilai USD 10 dimana pengunjung bisa mengunjungi tempat bersejarah lainnya di Kota Bago.