Sabtu, 07 Desember 2019

Amini Jokowi, NasDem: Amandemen UUD 1945 Tak Harus Sekarang

 Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak amandemen UUD 1945 karena dikhawatirkan muncul wacana-wacana liar seperti masa jabatan presiden dan lain sebagainya. NasDem sepakat dengan Jokowi jika saat ini lebih memprioritaskan tantangan global ketimbang amandemen.

"Kita setuju. Itu harus dibicarakan dengan masyarakat secara luas. Kalau presiden merasa situasi sekarang Indonesia atau politik lebih fokus untuk menjaga kondisi di dalam negeri yang stabil untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang begitu berat, kami setuju dengan pendapat itu," ujar Sekjen DPP NasDem Johnny G Plate di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2019).

NasDem menilai pendapat Jokowi yang tidak perlunya amandemen UUD 1945 saat ini masuk akal. Dengan demikian, kata Johnny, amandemen bisa dibahas di lain waktu.

"Kalau itu maka masuk akal sekali, pada saat di mana tantangan kita begitu luar biasa, dari global, maka dalam negeri kita harus fokus, apakah tepat momentumnya untuk meneruskan pembicaraan amendemen konstitusi yang bisa ramai sekali, atau berhenti pakai dulu. Kan ada waktunya nanti, kan tidak harus buru-buru sekarang," ujarnya.

Johnny menekankan, masyarakat perlu dilibatkan jika ada pembahasan mengenai amandemen UUD 1945. NasDem tidak ingin amandemen hanya menjadi kepentingan kelompok atau orang tertentu.

"Kami, saya, sebagai sekjen (NasDem), setuju dengan pendapat presiden, karena itu bukan datang dari presiden, jangan sampai dikaitkan dengan presiden. Orang presiden nggak minta. Pak Jokowi nggak minta, terus dibilang Pak Jokowi minta. Ya nggak," ucap Johnny.

Menkominfo itu pun menegaskan bahwa wacana amandemen UUD 1945 tak terkait dengan Jokowi. Sebelumnya, akibat wacana amandemen UUD 1945 yang jadi melebar seperti masa jabatan presiden 3 periode, Jokowi sampai membagi menjadi tiga golongan: ingin menampar wajah Jokowi, ingin mencari muka, dan ingin menjerumuskan Jokowi.

"Tapi, kalau kapan pun membicarakan amendemen UUD, poinnya itu harus dibuka secara luas kepada masyarakat, harus dibicarakan secara detail, komprehensif, pelibatan yang luas, tidak oleh satu dua elite, atau elitis," pungkas Johnny.

Jokowi Dinilai Tak Mau Citranya Rusak karena Isu Presiden 3 Periode

Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa wacana jabatan presiden menjadi tiga periode dimunculkan ke publik untuk menjerumuskannya. Pengamat politik, Hendri Satrio menilai pernyataan tersebut disampaikan karena Jokowi tidak ingin citranya rusak.

"Kalau menjerumuskan begini. Pak Jokowi kan sangat care dengan citranya dia. Makanya, ini ada kaitannya dengan, ini (wacana jabatan presiden tiga periode) menjelekkan citra dia," kata Hendri kepada wartawan, Senin (2/11/2019).

Selain itu, Jokowi juga merasa ada pihak yang ingin 'menampar' mukanya. Menurut Hendri, pernyataan tersebut dilontarkan karena khawatir kalau nantinya publik justru mengira wacana jabatan presiden menjadi tiga periode itu adalah ide Jokowi.

"Kalau menampar, dia juga takut bahwa masyarakat berpikir ini adalah ide dirinya yang bersiap menjadi presiden seumur hidup," ucap Hendri.

Hendri meyakini masih ada pihak yang tak langsung percaya kalau Jokowi benar-benar menolak wacana jabatan presiden menjadi tiga periode. Namun, Hendri tetap berharap pernyataan 'keras' Jokowi bisa membungkam para pengusul wacana tersebut.

"Ini menarik sih, statement (Jokowi) yang keras. Tapi, walaupun banyak sekali yang meragukan, 'ah biasa Jokowi. Dulu ngomongnya juga nggak mikir (jadi presiden), nggak mikir, maju juga'. Tapi ya apapun itu, walaupun ada sejarah seperti itu, tetap saja," sebutnya.

"Saya sih bersyukur dan mengamini, bahkan mendukung statement Pak Jokowi bahwa kalau kemudian nanti di ujungnya berbeda dengan yang dikatakan, itu soal nanti. Yang jelas, apa yang diucapkan (Jokowi) secara keras ini, mudah-mudahan bisa membungkam para pengusung ide penambahan jabatan presiden ini," imbuh Hendri.

PDIP: Jokowi Tidak Harus Emosional Sikapi Isu Amandemen UUD 1945

Wakil Ketua MPR RI Fraksi PDIP Ahmad Basarah menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya tidak harus menyampaikan pernyataan yang cenderung emosional dalam menyikapi isu perihal amandemen UUD 1945.

"Ya sebenarnya Pak Jokowi tidak harus menyampaikan pernyataan yang cenderung emosional menyikapi soal dinamika wacana dan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali haluan negara," kata Basarah di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (6/12/2019).

Basarah menyakini Jokowi tidak mendapatkan masukan yang menyeluruh, termasuk pandangan dari setiap fraksi-fraksi di MPR mengenai wacana amandemen UUD 1945. Jokowi diketahui sempat menyebut bahwa amandemen tidak perlu dilakukan, karena tidak ingin menyerempet ke hal lain selain perihal garis besar haluan negara (GBHN).

"Kalau beliau mendapatkan masukan-masukan yang lengkap, yang komprehensif, yang menyeluruh, terutama dari pandangan-pandangan fraksi-fraksi di MPR RI yang setuju untuk menghadirkan kembali haluan negara melalui amandemen terbatas, termasuk fraksi dari partai politik beliau sendiri yaitu PDI Perjuangan," ucap Basarah.

Dia menegaskan rencana amandemen UUD 1945 tidak semata menjadi usulan MPR. Ketua DPP PDIP itu menyebut amandemen UUD 1945 yang bersifat terbatas juga merupakan aspirasi masyarakat.

"Wacana dengan rencana amandemen terbatas ini bukan lagi menjadi, bukan menjadi wilayah aspirasi partai-partai politik saja. Karena, selain dari serap aspirasi yang ditampung oleh MPR, dalam kegiatan badan pengkajian MPR sejak periode 2009-2014, lalu dilanjutkan terjadi 2014-2024, usulan wacana amanademen terbatas itu adalah aspirasi yang diserap. Jadi kesepakatan MPR periode sebelumnya dan ditindaklanjuti MPR sekarang ini," paparnya.

Namun, Basarah tak semata menyoroti pernyataan Jokowi. Ia juga menyinggung peran Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg).

"Ini seharusnya Mensesneg selaku pembantu presiden urusan kenegaraan dapat membuka komunikasi dan koordinasi politik yang baik, terutama dalam fraksi-fraksi di MPR," tegasnya.

"Kemudian bahan-bahan masukan itu dilaporkan ke Presiden, sehingga presiden mengerti urgensi, mengerti kembali haluan negara lewat amandemen terbatas UUD 1945," imbuh Basarah.

Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat menyatakan bahwa ia tidak ingin urusan amandemen terbatas UUD 1945 menjadi liar dengan menyerempet pasal-pasal lain. Jokowi menyebut tidak perlu untuk amandemen UUD.

"Jawaban saya, apakah bisa amendemen dibatasi? Untuk urusan haluan negara, jangan melebar ke mana-mana. Kenyataannya seperti itu kan. Presiden dipilih MPR, presiden 3 periode, presiden satu kali 8 tahun. Seperti yang saya sampaikan, jadi lebih baik tidak usah amendemen," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (2/12).

Amini Jokowi, NasDem: Amandemen UUD 1945 Tak Harus Sekarang

 Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak amandemen UUD 1945 karena dikhawatirkan muncul wacana-wacana liar seperti masa jabatan presiden dan lain sebagainya. NasDem sepakat dengan Jokowi jika saat ini lebih memprioritaskan tantangan global ketimbang amandemen.

"Kita setuju. Itu harus dibicarakan dengan masyarakat secara luas. Kalau presiden merasa situasi sekarang Indonesia atau politik lebih fokus untuk menjaga kondisi di dalam negeri yang stabil untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang begitu berat, kami setuju dengan pendapat itu," ujar Sekjen DPP NasDem Johnny G Plate di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2019).

NasDem menilai pendapat Jokowi yang tidak perlunya amandemen UUD 1945 saat ini masuk akal. Dengan demikian, kata Johnny, amandemen bisa dibahas di lain waktu.

"Kalau itu maka masuk akal sekali, pada saat di mana tantangan kita begitu luar biasa, dari global, maka dalam negeri kita harus fokus, apakah tepat momentumnya untuk meneruskan pembicaraan amendemen konstitusi yang bisa ramai sekali, atau berhenti pakai dulu. Kan ada waktunya nanti, kan tidak harus buru-buru sekarang," ujarnya.

Johnny menekankan, masyarakat perlu dilibatkan jika ada pembahasan mengenai amandemen UUD 1945. NasDem tidak ingin amandemen hanya menjadi kepentingan kelompok atau orang tertentu.

"Kami, saya, sebagai sekjen (NasDem), setuju dengan pendapat presiden, karena itu bukan datang dari presiden, jangan sampai dikaitkan dengan presiden. Orang presiden nggak minta. Pak Jokowi nggak minta, terus dibilang Pak Jokowi minta. Ya nggak," ucap Johnny.

Menkominfo itu pun menegaskan bahwa wacana amandemen UUD 1945 tak terkait dengan Jokowi. Sebelumnya, akibat wacana amandemen UUD 1945 yang jadi melebar seperti masa jabatan presiden 3 periode, Jokowi sampai membagi menjadi tiga golongan: ingin menampar wajah Jokowi, ingin mencari muka, dan ingin menjerumuskan Jokowi.